Tuesday, October 20, 2009

Ini senada dengan tulisan saya berjudul Gelar beberapa tahun lalu

Gelar Sarjana

Anwari Doel Anowo - 20 Februari, 2005

Pada jaman dahulu kala, jaman penjajahan Belanda di Tanah Air kita Indonesia, yang oleh banyak orang Jawa ataupun Betawi disebut “jaman normal”, sebutan ndoro Dokter atau Tuan Insinyur, adalah sebutan yang terhormat. Benyamin Suaeb menyebut “anaknya” Rano *si Doel anak Betawi* Karno sebagai Tukang Insinyur. Gelar kesarjanaan adalah gelar yang seperti sesuatu yang suci, dan kadang-kadang diperlakukan dan diletakkan seperti yang lebih tinggi dari kepala manusia. Suasana seperti ini pernah atau masih (?) melanda Indonesia, seperti halnya pernah melanda Belanda dan Jerman beberapa dekade yang lalu. Dulu, di Jerman, kalau seseorang mempunyai gelar Doktor dua buah, maka dia akan memakainya begini Dr. Dr. Helmut Muller. Atau gaya Belanda di Indonesia: Prof. Dr. Kyai Haji Sahibul Polan , M.Sc., M.Ph. MBA. Pokoknya kita sampai tidak bisa melihat namanya sendiri karena terbenam oleh gelar kesarjanaannya. Saya risih, dan para sarjana tetap happy dan memang dengan bangga memakainya sehari-hari. Kemungkinannya ada dua. 1. Saya yang tidak tahu menghormati jerih payah orang belajar untuk mendapatkan gelar-gelarnya? Dan 2. Sipengguna gelar merasa memang perlu melindungi dirinya dengan tameng (perisai) dan bungkus dengan menggunakan gelar kesarjanaannya sehingga tidak kelihatan kekurangannya.

Ibu saya mengatakan keindahan yang dilihat dari jarak kejauhan istilahnya Sri Gunung. Dari dekat maka gunung akan kelihatan lembahnya, guanya dan pemandangan jeleknya yang lain. Dari kejauhan? Beautiful, man! Teman Canada yang saya kenal menyebut orang yang tidak dapat memencet kamera sehingga menjadi batal mengambil photo adalah Ph.D. Kepanjangan Ph. D. disini adalah Push Hard, Dummy !! Pencet yang kuat, gebleg!!

Sebagian besar Presiden Amerika Serikat adalah Sarjana Hukum, ada yang pasang gelarnya??

Belum lepas dari ingatan kita banyak Jenderal dan Perwira Menengah TNI kita mengenakan gelar kesarjanaannya dengan boros sekali. Ada Jenderal yang memakai Drs, SH, MBA. secara sekali gus. Ini lebih berat dari tanda pangkat yang dipanggulnya diatas kedua pundaknya, kalau dia berbintang dua berarti ada empat bintang dan kalau berbintang empat maka ada delapan bintang. Apalagi kalau tanda pangkat ini dibuat dari emas murni! Sekarang ini sejak tahun 2002 dia cuma polos menggunakan namanya saja. Kemana lenyapnya gelar-2 tersebut? Sebenarnya kata Jenderal sendiri berasal dari General yang mempunyai arti umum. General Purpose adalah nama kendaraan tentara Amerika pada waktu Perang Dunia Kedua. Kata General Purpose sendiri sehari-harinya disingkat GP (diucapkan cara Amerika dengan Gee Pee atau Indonesia Ji Pi). Lama kelamaan Gee Pee ini disngkat untuk lebih mudahnya dan nyamannya dengan ucapan Jeep. Bukan TNI saja yang menyukai singkatan-singkatan, tetapi juga para anggota tentara Amerika Serikat. Para Sipil Amerika menyebut Vee Pee yang disingkat Veep untuk jabatan Vice President.

Orang jaman dulu juga amat suka menutupi kekurangan dengan gelar kebangsawanan seperti Lord, Count atau Viscount dan Raden Mas Tumenggung serta Hangabehi Ingkang Sinuhun, Pengiran Hulubalang Yang Dipertuan Diraja dan sebagainya. Gelar tersebut dimungkinkan karena didapat sebagai hadiah dari tuannya sang bangsawan, padahal dia itu orang kebanyakan jua.

Ini semua ditulis sekedar untuk menerangkan bahwa sebenarnya semua gelar kebangsawanan dan gelar akademis serta gelar sebagai pemuka agama hanyalah sekedar baju penutup. Semua gelar itu kalau memang dipergunakan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan maksudnya tentu tidak akan menimbulkan ketimpangan atau keanehan. Boleh dan sah saja. Gelar Kyai, Haji juga dapat digunakan ditempat yang pas, tetapi kurang sesuai bila dipakai untuk dipasang dipapan nama.

Di Philipina ada Degree Mill (Pabrik Gelar) dan sekarang di internet ditawarkan gelar kesarjanaan dalam ilmu apa saja, tanpa kuliah dan tanpa ujian. --------Beli saja.---------Mudah dan Cepat.

Ketika saya sedang menuntut ilmu di Jepang (1959 s/d 1964) saya mempunyai kenalan seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat dari ras kaukasian, jadi berkulit putih. Hampir dua tahun saya sering bertemu dia dan sering bercakap-cakap. Suatu saat dia menyebutkan sesuatu mengenai Saudi Arabia dan dia menyebutkan tentang Mekkah yang diketahuinya. Saya tanya; “Have you ever been to Mecca?” Dia jawab dengan yes dan saya tanya lagi “What did you do in Mecca?” dia jawab sedang Haj Pilgrimage, menunaikan ibadah haji. Masyaallah, sekian lama saya bergaul dengannya saya tidak tahu dia Muslim apalagi Haji. Saya tanya lagi mengapa tidak mengenakan gelar haji? Dia menjawab enteng; “What for? Nobody does in the (United) States !”. Sekarang ini setelah saya mengamati agak lebih luas ternyata yang “suka” dengan gelar Haji dan Hajjah itu ada di Indonesia, Malaysia dan mungkin Brunei. Indonesia yang katanya penduduknya 88 % adalah Muslim, mungkin boleh-boleh saja menentukan pilihannya seperti itu. Akan tetapi pakailah dengan tepat. Jagalah nama sehingga Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar didunia tidak menjadi tercela dengan gelar-gelar lain yang belakangan ini santer: terkorup didunia, Jakarta Kota Terkorup atau sebagian besar Ketua DPRD dan anggotanya terlibat Korupsi besar-besaran.

Saya setuju dengan pendapat bahwa gelar sarjana sebaiknya dicantumkan dengan benar apabila dipakai sebagai penulis makalah atau buku, yang subjectnya memang sesuai dengan ilmu kesarjanaannya. Ini adalah bentuk tanggung jawab ilmiah tentang tulisannya yang sedang menjadi topic. Saya juga setuju apabila dia dokter hewan dan kebetulan dia menulis soal keamanan dilingkungan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), sebaiknya gelarnya tidak dicantumkan. Kalau ngotot ingin mencantumkan, saya juga tidak akan ngotot memaksakan pendapat saya diikuti. Itu haknya dokter hewan dan tidak ada aturan yang melarangnya. Untuk direnungkan saja bahwa hal itu kurang pas.

Banyak Kepala Daerah baru datang ke Jakarta, beli gelar dan beli mobil baru.

Palin-paling pulang ke daerahnya lalu meèjèng. Happy??

Istri saya yang kebetulan duduk disebelah seorang wanita yang dulu adalah istri seorang Presiden R.I., sama-sama menghadiri sebuah upacara perkawinan.

Melalui pengeras suara diumumkan segala macam upacara yang berlangsung secara adat Jawa dengan suara lemah lembut, yang begini dan yang begitu. Penyebutan nama pengantin secara lengkap disebut gelar kesarjanaannya dan demikian juga seluruh gelar sang ayah, kakak dan adik, adik ipar dan dengan teliti berulang-ulang. Ibu yang nyonya bekas Presiden RI itu berbisik kepada istri saya: “Jeng, semestinya semua gelar itu kan tidak perlu disebut didalam upacara penganten, ya?!” Istri saya mengangguk sopan saja mengiakan. Mengapa ibu tersebut berbisik dan istri saya hanya mengangguk sopan?

Percakapan seperti ini masih harus dilakukan dengan cara “low profile”, takut menyinggung perasaan orang lain. Ini termasuk saya sendiri yang menuliskan hal-hal diatas, akan tetapi tidak menyebut nama dan kapan peristiwa tersebut terjadi. Demikian pula dengan nama Jenderal yang penuh gelar, saya tutupi dan mungkin saya akan tetap bungkam. Apa saya pengecut? Mungkin juga! Lha wong cari slamet, kok. “Hukuman “ sosial di Indonesia terasa lebih sakit dan pedih dibandingkan dengan hukuman yang sesuai Undang Undang Negara yang berlaku.

Saya pernah berada di Bangkok, tepatnya di Hotel Trocadero pada tahun 1963, bertemu dengan seorang anggota TNI yang berpakaian seragam TNI lengkap. Didadanya ada papan nama dengan tulisan jelas tertera: Major Arifin. Terkesiap juga saya melihatnya karena sudah beberapa tahun tidak melihat pakaian militer didalam kota di Jepang. Untuk menghibur diri, saya berkata didalam hati, mungkin namanya memang Major dan nama keluarganya Arifin, meskipun kelihatan tanda pangkatnya memang Mayor.

Tahun 1993 saya naik kereta api dari Kuala Lumpur menuju Singapura. Suasana kereta apinya bersih dan teratur. Didalam gerbong, saya lihat empat orang berbaju batik tangan panjang. Setelah berkenalan, ternyata mereka semua anggota TNI AD yang sedang tugas latihan bersama Tentara Diraja Malaysia.

Dia berpangkat Kapten, bercerita bahwa seorang yang bepangkat Kapten di Tentara Diraja Malaysia kalau pulang kerumah selalu berpakaian sipil dan naik mobil pribadi. Mobil pribadinya dapat dibelinya sendiri. Gaji Kaptennya dapat membuat dia mampu memiliki mobil pribadi. Malahan kalau dia tidak memiliki mobil mungkin sekali atasannya akan menyelidiki apakah dia mempunyai bini lebih dari satu atau dia menjadi penjudi. Katanya lebih lanjut: “Lha, kalau saya mempunyai mobil pribadi, atasan saya akan mencurigai saya, dapat dari mana saya uang untuk membeli mobil?” Dia tertawa tergelak-gelak sendiri dan saya menyertainya tertawa juga. Itu yang terjadi, fakta kadang-kadang pahit dirasakan, meskipun disertai tawa.

Dapat dirasakan bahwa kadang-kadang gelar kesarjanaan, pangkat di TNI maupun gelar sosial seperti raden, semuanya mempunyai beban tersendiri. Kalau bebannya terlalu berat, lepaskan saja gelar-gelar itu. Toh kita lahir berupa bayi telanjang. Yang tidak bergelarpun selamat sejahtera sampai tua bangka sekalipun. Nanti mati juga telanjang lagi.

Gelar, pangkat, dan ke-raden-an ditaruh mana, ya?

Henry Kissinger menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, berhenti dan mengajar di sebuah universitas dan kita baru tahu dia memang Professor. Dia berhenti mengajar dan diminta menjabat suatu jabatan Negara lagi, gelar profesornya ditanggalkan.

Created by Anwari Arnowo

---ooo000ooo---

Learn to be silent,

let your quiet mind

listen and absorb

Anwari Doel Arnowo

Dimulai dengan sms.

Saya (07:44): This is For Your Eyes Only, takut diproses seperti Prita Mulyasari.

DILANTIK: ke satu Jenderal yang Doktor dalam Ilmu Pertanian (?), Haji, Koalisi (sa)tor -?- dan ke dua: Professor Doktor, M.ec (opo iku?). DO WE NEED THAT??

AMB (07:48): Wehave a lot to reform n reeducate. Gelar iku opo sih?Obama, Bush, Gore, Merkel, Sakorskyndak pernah merasa perlu nempel-nempelin yang begitu. Wis ngurut dodo ae. EGP?

Ah, ternyata AMB tidak bisa EGP. Ternyata pukul 12:51 saya dikirimi email yang berisi tulisan seperti seperti berikut ini:

TEMPEL-TEMPEL

Oleh: A. M. Budiman

Bandung, 20 Oktober 2009

Hari ini, 20 Oktober 2009, Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden terpilih Boediono akan dilantik secara resmi sebagai pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kurun waktu 2009-2014.

Hari ini pula berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik riuh memberitakannya secara luas. Di media cetak terpampang iklan-iklan berwarna ukuran besar menyampaikan ucapan selamat.

Yang menarik perhatian saya ialah terpampangnya sederet tempelan gelar di depan maupun di belakang nama kedua negarawan kita. Saya masih mempertanyakan apakah penempelan sederet gelar akademik dan non-akademik tersebut memang sudah mendapat restu dari yang diberi selamat. Ataukah itu hanya upaya ‘menarik hati’ dari para pemasang iklan dan para kalangan inner circle kedua pemimpin bangsa itu. Saya tidak tahu.

Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta tercantum gelarnya hanya pada awalnya saja. Selanjutnya beliau berdua lebih dikenal sebagai Soekarno dan Hatta. Tanpa embel-embel.

Dan bukankah para pemimpin dunia lainnya juga tidak menempelkan apa-apa pada namanya? Coba kita simak nama-nama berikut: Jawarlal Nehru, J.F. Kennedy, Robert McNamara, Chou En Lai, kemudian Bush, Obama, Sarkozy, Merkel dll. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang hebat di dunia akademik yang digelutinya sebelum menduduki jabatan publik.

Bagi sementara orang, hal semacam ini mungkin dianggap terlalu ‘remeh’ untuk dibicarakan. Namun menurut hemat saya justru kita perlu membicarakannya guna kemudian mengupayakan untuk disosialisikan secara luas. Gejala ‘gila’ (maaf) gelar kesarjanaan akademik semacam ini sudah terlanjur mewabah dan merambah ke segala lapisan masyarakat. Orang berlomba memperoleh gelar semacam itu, baik secara halal maupun tidak. Tidak heran, perusahaan yang ‘menjual’ aneka macam gelar tumbuh subur di mana-mana. Perusahaan semacam ini begitu tidak kenal malu menawarkan ‘gelar’ professor, yang sebenarnya hanya nama jabatan saja. Lebih menyedihkan lagi, ada orang yang mau membelinya, tanpa memahami apa yang dibelinya.

Fenomena tidak sehat ini tentunya harus segera diakhiri.

Kalau seseorang menulis suatu karangan ilmiah, wajiblah ia mencantumkan lengkap gelar kesarjanaannya. Begitu pula dalam pemberitaan di kalangan sivitas akademika, ataupun forum-forum yang terkait dengan dunia akademik lainnya.

Namun di luar itu, alangkah janggalnya.

Anak bangsa kita perlu dicerahkan nurani dan diajarkan sejak dini bahwa peningkatan jenjang karier seseorang harus didasarkan pada evaluasi ‘on merit’ dan BUKAN gelar yang disandangnya atau lainnya. Dengan demikian setiap anak bangsa akan berusaha sekuat tenaganya untuk menambah ilmu, memperkuat kompetensi diri dan bekerja lebih keras – tanpa memikirkan menempelkan gelar apapun.

Anwari Doel Arnowo

Haiyaa.. saya kira saya sedang baca sms ..... 2009/10/20 A. M. Budiman

12:58 PM (40 minutes ago)

budim@mail.com

--- On Tue, 10/20/09, A. M. Budim wrote:

Haya salah ngetik: 2009 - 2114. SBY keburu dadi Casper. Hayaaaa Powered by Te...

1:02 PM (36 minutes ago)

Anwari Doel Arnowo

2114 mestinya 2014. Lha aku dikoreksi (Satu Abad) oleh Ta 3009 mestinya 2109.

1:09 PM (29 minutes ago)

A. M. Budiman

Iku dudu seabad rek, tapi sembilan abad rek. Lha aku dikoreksi adike Ta:...

1:25 PM (14 minutes ago)

Reply

A. M. Budiman to P, me

show details 1:27 PM (11 minutes ago)

Iyo, ben dadi SBY the Casper.

---------- Forwarded message ----------

From: P W

Date: 2009/10/20

Subject: Re: Tempel-tempelan

To: "A. M. Budiman"

TK (Taufik Kiemas) melantik SBY untuk 2009-2014. Cuma 5 tahun. Kalo Budim, lebih generous, selain 5 tahun ada tambahan bonus 100 tahun, 2009-2114. ....

No comments: