Monday, August 31, 2009

Belum ketemu, bukan tidak berhasil



http://sehathealthy.blogspot.com/2009/08/tuhanallahgodpencipta.html

TUHANALLAHGODPENCIPTA

Entry for December 28, 2006

God Spot in human brain

RENUNGKAN

Brain and God

Brain scan of nuns finds no single "godspot" in the brain, Université de Montréal study Montreal, August 28 2006 –

A new study at the Université de Montréal has concluded that there is no single God spot in the brain. In other words, mystical experiences are mediated by several brain regions and systems normally implicated in a variety of functions (self-consciousness, emotion, body representation). The study published in the current issue of Neuroscience Letters was conducted by Dr. Beauregard and his student Vincent Paquette.

"The main goal of the study was to identify the neural correlate so far mystical experience," explained Beauregard." This does not diminish the meaning and value of such an experience, and neither does it confirm or disconfirm the existence of God.

Fifteen cloistered Carmelite nuns ranging from 23 to 64-years-old were subjected to an MRI brain scan while asked to relive a mystical experience rather than actually try to achieve one. " I was obliged to do it this way seeing as the nuns are unable to call upon God at will," said Beauregard. This method was justified seeing as previous studies with actors asked to enter a particular emotional state activated the same brain regions as people actually living those emotions.
This study demonstrated that a dozen different regions of the brain are activated during a mystical experience.

This type of research became very popular in the United States in the late 1990s. Some researchers went as far as suggesting the possibility of a specific brain region designed for communication with God.

This latest research discredits such theories. About the Université de Montréal Founded in 1878, the Université de Montréal today has 13 faculties and together with its two affiliated schools, HEC Montréal and École Polytechnique, constitutes the largest centre of higher education and research in Québec, the second largest in Canada, and one of the major centres in North America. It brings together 2,400 professors and researchers, accommodates more than 55,000 students, offers some 650 programs at all academic levels, and awards about 3,000 masters and doctorate diplomas each year.

Terbukti dengan jelas bahwa belum dapat ditemukan bagian dari otak (God spot) yang bisa menghubungkan manusia dengan Tuhan. Ini adalah penyelidikan ilmiah, yang maksudnya untuk mengetahui: apakah ada didalam system syaraf manusia yang bisa dianggap sebagai titik atau pusat syaraf untuk berkonsentrasi terhadap hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun tidak ditemukan bukti apapun study ini tidak mengatakan bahwa Tuhan itu ada atau tidak !!

Anwari Doel Arnowo,Toronto, Canada,

28 Desember 2006

Anwari Doel Arnowo

Thursday, August 27, 2009

Tulisan Denny Baonk

Tulisan ini (oleh Denny Baonk) saya kutip dari FORUM APAKABAR tahun lalu (?) atau lebih lama, saya lupa.
- Anwari 27 Agustus 2009 -


Denny Baonk: Jangan bilang Minal Aidin ....... kalau tak tahu artinya. Karena menimbang tutur orang bijak, katakan apa yang kita mengerti, dan gunakan kata-kata (bahasa) yang kita pahami.

Dalam budaya Arab, ucapan yang disampaikan ketika menyambut hari Idul Fitri (mengikuti teladan nabi Muhammad) adalah "taqabbalallahu minna wa minkum", artinya kurang lebih : semoga Alloh menerima amalan aku dan kamu. Kemudian menurut riwayat ucapan nabi ini ditambahkan oleh orang-orang dekat jaman nabi dengan kata-kata "shiyamana wa shiyamakum", yang artinya puasaku dan puasamu, sehingga kalimat lengkapnya menjadi "taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum" (semoga Alloh menerima amalan puasa saya dan kamu).

Minal Aidin Wal Fa Idzin sendiri sebetulnya frasa yang tidak lengkap, karena maknanya adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Ini do'a bukan, salam juga bukan.

Lebih lengkap jika kalimat itu diucapkan "Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin", yang akan semacam doa dengan makna : "semoga allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang)"

Lha kalau minta maaf di hari lebaran lalu gimana?

Sebetulnya sih minta ya minta aja. Atau kalau mau lebih sip, jangan minta melulu tapi sese(ring)kali ngasih lah.

Dalam bahasa arab sebetulnya frasa "mohon maaf lahir bathin" cukup diucapkan dengan satu kata : Afwan. Secara makna, afwan sudah mencakup permintaan maaf yang tulus dan dalam.

Tapi kalau ngotot mengikuti langgam Indonesia yang merasa perlu menekankan lebih khusus permintaan maaf seakan-akan ada bentuk kesalahan lahiriah dan bathiniah, maka bolehlah ucapannya dimodifikasi menjadi Afwan Zahir Wal Bathin.

Tapi yang paling penting tentu saja ucapan selamat, permintaan maaf atau ucapan apapaun yang disampaikan itu didasari perasaan, maksud dan suasana hati yang tulus. Dan untuk mengungkapkan itu, pilihan bahasa ibu sendiri rasanya akan lebih memudahkan, maksud sampai dengan mulus.

Sentaby,

DBaonk

Friday, August 21, 2009

Disiplin dan kejujuran sama sama dari hati sanubari


Anwari Doel Arnowo – 21 Agustus 2009

Disiplin

Menurut saya disiplin bisa disejajarkan dengan jujur, akan tetapi mungkin intesitasnya bisa agak lain. Disiplin hanya bisa kalau ada sedikit paksaan demi rasa kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, sedang jujur itu amat bisa kalau memang keluar dari lubuk hati manusia. Jadi hukuman terhadap pelanggaran disiplin bisa diterapkan oleh orang lain, yang contoh nyatanya misalnya: kepala rumah tangga, kepala sekolah, kepala polisi, kepala penjara. Bisa diterapkan oleh perangkat lunak yang biasa kita sebut dengan undang-undang Negara dan peraturan pemerintah.

Jujur tidak ada atasannya, tidak ada penyelianya, kecuali diri sendiri, suara hati nurani sendiri. Yang menjadi pedoman agar dapat dilaksanakannya perbuatan jujur adalah sebuah perangkat lunak lain, misalnya: pendidikan budi pekerti dan nasihat orang tua atau dituakan, serta harapan hukuman dan hadiah yang biasa didengungkan oleh sebuah alat untuk menyembah Tuhan, yaitu agama, yang bentuknya berupa ‘ancaman’ neraka dan berupa ‘hadiah’ surga di alam yang akan datang.

Ini yang kita dapat di internet: Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang dirasakan menjadi tanggung jawab. Pendisiplinan adalah usaha usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman dimana hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain.

Macam-macam disiplin Disiplin diri Disiplin diri merujuk pada pelatihan yang didapat oleh seseorang untuk memenuhi tugas tertentu atau untuk mengadopsi pola perilaku tertentu, walaupun orang tersebut lebih senang melakukan hal yang lain.

Sebagai contoh, seseorang mungkin saja tidak melakukan sesuatu yang menurutnya memuaskan dan menyenangkan dengan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang ia inginkan dan menyumbangkan uang tersebut kepada organisasi amal dengan pikiranbahwa hal tersebut lebih penting.

Kami orang Indonesia sudah lama tidak mau berdisiplin, benar-benar sejak lama. Ada orang yang sengaja membiarkan disiplin tidak dilaksanakan, dan itu disebabkan oleh pikran yang didominasi oleh antara lain oleh ‘gengsi’, ‘harga diri’ dan lain-lain hal yang sifatnya nisbi. Sudah lama semua orang Indnesia merindukan yang disebut dengan disiplin, tetapi sungguh saya menjadi amat heran, karena sebagian, lumayan besar jumlah orang Indonesia segan melakukannya. Selain memang tidak mau, tidak patuh dan sering-sering bersifat coba-coba: siapa tau bisa berhasil, kan lumayan enak, potong kompas saja. Misalnya menyeberang jalan tidak di tempatnya, memakai uang arisan yang bukan haknya, atau malah tidak mengembalikan uang kembalian belanja, serta melalaikan membayar pajak dan masih berderet contoh yang bisa didaftar di sini. Apa yang ditulis di sini sudah tentu akan mengenai diri sebagian dari pembaca tulisan ini dan mungkin enggan melanjutkan membaca.

Menjadi kebiasaan saya dulu waktu masih berbisnis, kalau menerima pegawai setelah ditest dan diperiksa, telah memenuhi syarat-syarat yang telah dibakukan, saya memberikan sepatah dua kata: ‘Di Perusahaan ini kalau kamu kurang pandai, bisa diajarkan caranya bekerja, tetapi sifat jujur harus dari hati sanubarimu sendiri, tidak ada guru yang bisa mengajarkan kejujuran kepadamu.’ Nah, pada suatu saat di kemudian hari, yang sebaliknya terjadilah. Saya terpaksa berkata kepada karyawan yang tidak jujur: ‘Yang memecat kamu itu bukan saya, saya hanya petugas perusahaan, meskipun saya adalah pemiliknya, yang harus melakukan pekerjaan ini. Yang memecat kamu adalah kamu sendiri, karena waktu kamu melakukan pencurian itu, berarti kamu sudah siap dipecat.’ Orang ini sampai bertahun-tahun kemudian, bertemu dengan saya, tetap masih ramah tamah dan pernah juga mengajak saya makan siang dan dialah yang membayar makanannya. Sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan. Itu adalah sebagian dari disiplin yang saya lakukan, karena saya tidak pandang bulu, bila menyangkut peraturan perusahaan. Kalaupun yang melakukan pelanggaran itu masih ada hubungan famili dengan saya, saya juga tetap akan melakukan pemecatannya.

Saya ingin menyampaikan gagasan agar kami, kita dan orang Indonesia pada umumnya tidak lagi terus menerus melakukan perbuatan yang tidak jujur dan semua ini mungkin akan bisa dilakukan kalau kita mendsiplinkan diri sendiri terlebih dahulu. Bagaimana memulainya ?

Mari kita mulai dari rumah tangga masing-masing. Tidak usah di tempat lain.

Di dalam setiap rumah yang paling mudah didisiplinkan adalah anak-anak dan malah harus dimulai dari yang masih bayi. Kok tega amat ? Iya memang harus tega dan itu akan menjadi kebiasaan dan menular kedisiplinannya justru kepada kedua orang tuanya sendiri, yang ayah maupun ibu yang menjadi kepala keluarganya, pencari nafkah keluarga. Seorang bayi adalah makhluk yang baru lahir yang otaknya dapat diibaratkan sebagai sebuah komputer baru, yang baru sedikit diisi data, tetapi dia sudah mampu berkomunikasi dengan pasif. Beberapa ibu sudah bercerita kepada saya, ketika perutnya yang sudah sekian bulan berisi janin, di USG (Ultra Sono Graphy), terlihat dokternya seperti berkata-kata dengan bayinya. Ibu-ibu ini bertanya apa benar bayinya bisa menangkap apa yang dikatakan dokter? Jawabannya sungguh mengejutkan: iya bisa. Malah ada dokter yang menyebutkan agar tangan sang bayi ‘melambai’ dan sang bayi terlihat bergerak. Itu semua saya dengar dari mereka yang menceritakan tentang kejadian pra kelahiran bayinya. Inilah sebabnya beberapa bangsa menggunakan istilah Hari Jadi dan bukan Hari Lahir. Hal itu jelas mengacu bahwa janin sesunggunya sudah dapat digolongkan sebagai makhluk hidup, bukannya seperti yang masih kita percayai bahwa manusia hidup itu setelah lahir.

Setelah lahir, maka saya juga sudah melihat bahwa mereka, sang bayi-bayi ini, telah mempunyai kontrol atas organ-organ biologi yang dimilikinya. Bayi akan menangis kalau haus atau lapar. Bayi akan menangis kalau merasa tidak nyaman karena badannya basah oleh kencingnya atau kotorannya sendiri. Bayi akan menangis atau mengeluh kalau ia ingin sesuatu, ngantuk untuk bisa tidur tidak terganggu, misalnya. Dia bisa mengernyitkan matanya kalau ada sinar yang menyilaukan. Itu berarti dia bisa bereaksi terhadap aksi apapun. Suara yang keras, bau yang tidak disukai dan terhadap apa yang dialaminya bila terkejut. Sensor yang dimilikinya juga sudah mengenal bau badan ibunya dan ayahnya, juga pendengarannya sudah bisa membedakan suara manusia lain dengan suara orang tuanya.

Di sinilah peran seorang ibu, seorang pegasuh bayi dan seorang ayah juga, untuk menerapkan disiplin awal. Yang bisa diterapkan sejak dini adalah; waktu minum susu yang teratur dan juga membiasakan untuk tidak memberi minum susu sejak tidur malam sampai bangun pagi. Bangun tengah malam karena bayi menangis kehausan itu boleh diamati memang perlu atau karena memang kita memang memanjakan atau karena tidak tega? Cobalah tanyakan kepada dokter anak, bisakah seorang bayi, anaknya itu, tidak diberi minum sejak pukul 23:00 tengah malam sampai keesokan harinya pukul 06:00 pagi ? Kalau datang jawabannya iya, maka kedua orang tuanya “wajib” untuk melakukannya dengan tega, demi disiplin. Demi rutinitas yang baik.

Saya sudah melihat bayi yang diberi perlakuan disiplin seperti ini, pada umumnya terlihat sehat-sehat saja dan manis-manis. Para orang tualah yang bisa melakukan hal ini dan harus bersiap diri terhadap suara yang bertentangan dari ayah ibu masing-masing, baik yang kandung atau yang mertua. Apa sebabnya saya utamakan masalah ini terlebih dahulu? Jawabnya: sepasang ayah ibu muda biasanya bekerja dua-duanya sehingga selama jam kerja, sang bayi itu akan berada di bawah asuhan orang lain, apakah keluarga sendiri atau di tempat asuhan khusus bayi yang orang tuanya mencari nafkah dua-duanya. Juga terjadi pada orang tua tunggal, yang telah bercerai hidup atau bercerai mati. Disiplin awal ini menyebabkan orang tuanya menjadi ikut disiplin juga di tempat kerjanya, tidak mengantuk atau tertidur ketika dia sedang bekerja. Ini penting untuk kelangsungan nafkah seterusnya.

Ketika sang bayi sudah bukan lagi bayi, maka harus diajari untuk berdikari : makan dan minum menggosok gigi sendiri setiap kali sesudah makan, memasang bajunya sendiri, serta memasang sepatu atau sandalnya sendiri. Mulai juga diajarkan menyiapkan minumnya sendiri kecuali yang panas dan juga makanannya yang mudah saji. Tidak salah mengajarkan anak-anak untuk membersihkan peralatan makan setelah digunakan. Semua ini akan berubah dengan tidak terasa dan menjelma menjadi kebiasaan. Saya melihat seorang anak sampai berteriak minta tolong kepada ibunya karena tidak bisa menemukan tempat sampah ke mana dia ingin membuang bungkus permen manisan yang telah dimasukkan kedalam mulutnya. Itulah disiplin yang tidak terasa, tidak terasa berat atau membebani diri.

Dengan memulai penerapan disiplin di rumah sejak dini, maka tidak bisa tidak pasti orang tuanya akan juga tetap berdisiplin juga. Ceritakan kepada anak-anak bahwa dalam mengemudi mobil juga harus taat kepada rambu-rambu lalu lintas yang ada, malah akan menolong sekali memberitaukan juga bahwa taat kepada rambu-rambu bukan disebabkan oleh karena takut kepada polisi, tetapi karena kesadaran untuk keselamatan kita juga.

Segala sesuatunya harus dimulai dari diri sendiri dan tidak menyuruh orang lain sebelum diri sendiri mampu untuk bisa melakukannya.

Di dalam era pekerjaan awal saya, sekitar empat puluh dua tahun yang lalu dalam waktu singkat, hanya satu tahun, saya sudah menduduki kedudukan yang harus memimpin 200an karyawan sebuah galangan kapal baja kecil di Sumatra Selatan. Saya bisa memerintahkan mengelas sesuatu pekerjaan las, karena saya juga pernah berlatih menjadi tukang las yang benar-benar bekerja di lapangan, di sebuah shipyard di Jepang yang jumlah karyawannya lebih dari 5000 orang. Di shipyard itu Safety First menjadi acuan, sehingga ada pemeo bahwa kepala bagian Safety First bisa lebih berkuasa dari seorang direktur perusahaan. Jadi karena saya tidak pernah membuat perintah yang salah, demikian juga di Machine Shop yang berisi pekerjaan mesin bubut dan frase. Juga saya mampu menyelia dan menilai apakah sandblasting serta pengecatan dengan cat dasar sampai cat warna akhir sudah sempurna atau belum. Bisa menyuruh orang bekerja karena menguasai bidangnya, adalah cikal bakal akan bisa memegang disiplin kerja juga.

Sudah menjadi pengetauan umum, disiarkan di media juga, bahwa orang Indonesia itu kalau berkelana ke negeri lain, bisa menaati semua peraturan dan undang-undang, tetapi begitu menginjakkan kakinya kembali ke Tanah Airnya sendiri, maka kembalilah melanggar dan membuat kesalahan. Apa sebab demikian ?? Tiada lain karena disiplin juga tidak diupayakan untuk ditaati sejak dini justru dari diri para penegak hukum sendiri.

Contoh bayi dengan orang tuanya adalah contoh yang tepat manajemen dalam pemerintahan sebuah Negara. Eksekutip, legislatip dan yudikatip adalah orang tua, ayah ibu bagi rakyat, yakni anak-anak mereka. Bagaimana anak-anak bisa berperilaku dengan baik dan mulus sesuai dengan aturan, di kehidupan yang warna warni ini, kalau mereka tidak tau harus bagaimana cara bertingkah laku dengan benar. Apalagi apabila sering melihat dengan jelas bagaimana orang tua anak-anak ini sendiri justru melakukan perbuatan yang tidak disiplin dan jelas melanggar undang-undang.

Mari kita kembali melihat, kalau perlu menggunakan kaca pembesar, kondisi rumah tinggal kita masing-masing, agar terlihat dengan lebih jelas. Mana yang perlu diperbaiki, segera lakukan, ini ikut mendidik istri dan anak-anak juga.

Anwari Doel Arnowo – 21 Agustus, 2009 – 18:42