Sunday, October 18, 2009

Beranikan diri menatap masa depan


Anwari Doel Arnowo – 18 Oktober, 2009

Satu Abad

Tahun 1901 Sukarno lahir di Surabaya.

Kapal terbang belum tercipta, tetapi sudah ada konsepnya.

Televisi belum ada, walau sudah ada hanya di dalam daya khayal para ilmuwan.

Telepon masih amat-amat langka sekali.

Manusia penduduk Nusantara mengenali seseorang yang beraliran kepercayaan dan agama lain, dengan sikap engkau adalah kamu dan saya adalah beta. Secara sporadis dan jumlah yang tidak banyak, mulai memikirkan adanya suatu bangsa yang mendiami sebuah negara berpemerintahan satu di kepulauan Nusantara.

Penduduk seluruh dunia pada waktu itu hanya dikirakan sejumlah 3 miliar jiwa.

Tahun 2009 belum terlahir atau belum muncul orang yang sekaliber Sukarno.

Kapal terbang sekarang mempunyai lebar sayap (Wing tip to tip) yang panjangnya sama dengan jarak tempuh mengudara dari kapal terbang yang pertama kali ciptaan Wright bersaudara di Amerika Serikat.

Televisi rumah sudah biasa berukuran diagonal layarnya 52 inchi dan yang dipakai untuk reklame demikian besar layarnya, mampu dilihat dari jarak seratus meter..

Telepon ? Demikian canggihnya kalau short message service (sms) datang terlambat dua menit saja si calon penerima bisa saja menumpahkan kemarahan.

Satu abad yang lalu kehidupan lebih sederhana, manusia menerima keadaannya dengan sikap lebih pasrah dan tidak menggebu-gebu. Nenek saya saja masih mendinginkan nasi yang baru matang dimasak. Sekarang banyak sekali orang yang menuntut makan dengan nasi panas, bahkan bisa sekali menjadi marah, merajuk dan membatalkan makan sama sekali, bila tidak ada nasi panas.

Sekarang manusia-manusia yang pernah dicita-citakan untuk mendiami kepulauan Nusantara, sudah lebih 64 tahun lamanya, hidup bersama di dalam sebuah pemerintahan bersama di dalam sebuah Negara bernama : Republik Indonesia. Kebersamaan ini kadang-kadang terganggu karena adanya masalah politik dan jenisnya kepercayaan dan aliran agama yang dianutnya. Sikap negatip : partaimu jelek partaiku bagus, kepercayaan atau agamamu salah sedang kepercayaan atau agamaku paling benar. Persatuan nasional terganggu dan hidup nyaman menurun menjadi tidak nyaman.

Itu semua adalah sedikit dari sekian juta kilas balik yang bisa digambarkan selama satu abad terakhir.

Apabila sekarang ada pertanyaan siapa manusia yang lebih berbahagia hidupnya, yang seratusan tahun yang lalu atau yang sekarang ??

Mari kita jelajahi mesin pencari - search engine, dan berikut inilah yang kita dapatkan.

Yang jelas pernah diberitakan bahwa hanya ada dua negara saja, salah satunya: Bhutan yang penduduknya bisa mampu untuk dikatakan berbahagia, meski diukur secara Gross Domestic Product yang hanya US$ 5,312 Per Capita (data IMF – International Monetary Fund) akan tetapi nilai GDH (Gross Domestic Happiness)nya bisa menggantikan nilai GDPnya.

GDP menurut IMF terhadap Indonesia menempati Peringkat ke 121 – US$3.980 (menurut World Bank di peringkat 106 – US$3,975 dan CIA World Factbook di peringkat 127 –US$3,900).

Yang aneh menurut CIA World Factbook maka negara yang mempunyai peringkat paling tinggi di dunia dalam nilai GDP adalah Lichtenstein, angkanya US$ 118,000. Lichtenstein adalah daerah pegunungan yang terletak di tengah-tengah negara Swiss, dan Austria. Areanya seperti negeri dongeng Liliput yang meliputi daerah seluas 160 kilometer persegi saja dan penduduknya hanya 35.000 jiwa. Ibu kotanya adalah Valduz dan kota yang terbesar di situ adalah Schaan. Penduduknya berbahasa Jerman meskipun tidak berbatasan dengan Jerman. Mungkin sebuah Kelurahan di dalam Kota Jakarta, mempunyai penduduk yang lebih besar cacah jiwanya. Karena Lichtenstein terkenal sebagai sebuah negara yang dijuluki Tax Heaven (Surga -Tanpa-Pajak), maka jumlah perusahaan yang ada di negara tersebut mencapai jumlah sekian kali dari jumlah penduduknya. Tentunya perusahaan seperti itu adalah yang mungkin sekarang banyak beralamat di sebuah tempat yang lazim di sebut sebagai Company Headquarters, yang ada di Singapura, di Hong Kong dan kota-kota besar di manapun, termasuk Jakarta Raya.

Catatan: Berikut setelah Lichtenstein sebagai negara ber GDP terbesar adalah Qatar, yang US$110,700 dan Luxembourg yang US$81,000.

Pertanyaannya mengapa Bhutan dianggap sebagai negara yang mempunyai penduduk yang berbahagia, sedangkan GDPnya hanya satu per duapuluh lebih atau sekitar 5% saja dari GDPnya Lichtenstein ??

Ukurannya apa ?? Silakan klik dan baca di http://www.cbc.ca/money/story/2009/09/18/f-don-pittis- berikut tanggapan-tanggapannya:

Don Pittis

Beyond GDP: The pursuit of economic happiness

President Sarkozy and the King of Bhutan seek domestic joy through pursuit of GDH.

Last Updated: Friday, September 18, 2009 | 3:13 PM ET Comments9Recommend24

By Don Pittis, CBC News CBC News



Don PittisDon Pittis

French President Nicolas Sarkozy has announced he doesn't like gross domestic product. And he is not alone. The King of Bhutan and many other people feel the same way.

GDP, as the economic yardstick is known to its closer friends, is supposed to measure how well countries are doing and how much things are improving.

To do that, it measures one main thing: money.

Now there is nothing wrong with money. Even Sarkozy likes it. But the big question raised by le Président de la République and his expert panel of economists was, "Is money enough?"

GDP isn't everything

GDP is a strange beast.

If you chop down a forest, GDP goes up. If you get in a car crash and everyone is taken away by ambulances and tow trucks, GDP goes up.

If you have a massive heart attack, a triple bypass and you expire on the operating table, you have just created a GDP windfall. You've generated money not just for the people tallying up your medical bills, but for lawyers and undertakers too.

But if you take out your neighbours' trash while they are away, or help an old lady down the stairs of a bus with her parcels, or sit down for a leisurely home-cooked meal with friends and family, GDP is unaffected. Well, of course it isn't. Who would be so crass as to put a dollar value on such things?

According to the economic theory behind GDP, money is supposed to measure well-being. And in a way it does. If bottles of wine or an iPod didn't make you happy, you wouldn't spend money on them. If as a population we buy more cars and food and computers and beer, we are getting more and more satisfied.

Measuring well-being

But there is a growing body of evidence that some of the things GDP fails to capture have a huge and measurable impact on well-being.

Political scientist Robert Putnam, in his book Bowling Alone, suggests a direct relationship between the number of neighbours you know by first name and how long you live. His book has many other good examples of the value of human companionship.

There's another great case study in the book Getting to Maybe, written by a group of authors that includes Prof. Brenda Zimmerman of the Schulich School of Business at York University. They spotlight a Vancouver program called PLAN to help disabled children whose aging parents eventually won't be around to look after them.

Although money was important to the children's future, they discovered that relationships were perhaps more important. "Relationships did not lead to quality of life," they found, "they were quality of life."

To help the disabled offspring, the group put an enormous amount of effort into building up existing — and creating new — social connections. And they found it worked.

Feminist economists have done a lot of work on this kind of thinking, usually rejected out of hand by "mainstream" economics. Unpaid and uncounted labour in the home is an obvious objection to the conventional view. But more complex and interesting are concepts like intergenerational reproduction, where crucial values that make societies truly rich are transmitted (or not transmitted) outside the marketplace.

GDP versus GDH

Perhaps the greatest master of measuring non-GDP well-being is the King of Bhutan. Several years ago, that South Asian country dropped the idea of GDP. Instead, its people adopted a measure called GDH, or gross domestic happiness.

Rather than chopping down trees, they plant them. People take it slow, spending a lot of time with their families and livestock, and having a lot of festivals. It might not work here, but the Bhutanese could have a few ideas for Sarkozy.

In the meantime, it sounds like France's new anti-GDP report, with the windy title The Measurement of Economic Performance and Social Progress Revisited, would be worth a detailed read. I plan to do it justice some day.

But right now, I'm going to go putter in the garden.

Don Pittis has reported on business for Radio Hong Kong, the BBC and the CBC.

  • This story is now closed to commenting.

Note: The CBC does not necessarily endorse any of the views posted. Please note that comments are published according to our submission guidelines.

LICENSE | EMAIL | PRINT | Text Size: S M L XL | REPORT TYPO | SEND YOUR FEEDBACK |Bookmark and Share

Story comments (9)

Sort: Most recent | First to last | Agreed

Ken Kernaghanwrote:Posted 2009/09/23
at 12:39 AM ETThe article mentions that things other than money lead to well-being, but consideration should not be limited to the well-being of humans. This could easily be used to justify the pursuit of short-term self-interest without consideration for environmental impacts that don’t have to be fully paid for by the party benefiting from the impact.

Pursuing continued GDP growth really only suits Economic interests.

Along with Economic interests, there are Social interests (mentioned in the article) and Environmental interests (missing from the article even though well-being is closely related to the environment).

There is some synergy among the interests, but many Social interests are contrary to Economic interests, and Environmental interests are contrary to all Economic interests and many Social interests.

The Environment does not “benefit” from Economic activity. As many have commented on Climate Change, humans can’t control the environment. However, human activities do have significant impacts on the environment. We can’t meaningfully control the environment. All we can do is reduce the impacts our activities have on the environment to “sustainable” levels.

Sustainable levels of impact are at odds with perpetually increasing GDP and our current economic activity is not even sustainable. Sustainable means future generations can continue living the same way and the less fortunate can develop to live that way.

Success should be measured in a manner that ensures that environmental and social impacts are not over-ridden by Economic interests, with environmental impacts limited to sustainable levels.

The free-market can only help us get there if environmental impacts have to be paid for up-front and social requirements are adhered to in all nations.

brainburp wrote:Posted 2009/09/22 at 1:02 PM ET

Dear Don Pittis,

this should not be the time to drop this- rather the time to pursue it.We have seen the decimation of life-economic demographic strata and of cultural,historical significance and now finally -the environment. In every conceivable way if we do not address this techno cultural issue of being content and how to consider ourselves improving then the next step will be to reduce those "components of value" which conflict or detract from the overall benefit equation.At some point that means ---US.
I think most bloggers as reflected in views on global warming, development and technology recognise that this usually leads to real or created resource centred conflicts and control.
Im reminded of the Europeans in South Americas gold rush,our own oil entric growth, and the incredible rise of disproportionate allocation of value to the "equity"markets" relative to the "real" value of goods and services.Yes we need markets but at the end of the day if the puff of smoke disappears for one guy but enables the next to own vast tracts of productive land/industry perhaps we should limit the amount of real value attached to vapour and drink more water.Real vs confidence value.Yes we need global trade instruments , GDP and economic measuring sticks but no more than you need the dipstick in your car-its there to indicate the health of the motor not as the only component of importance.We are trying to use the dipstick to tell us how hot the motor is or how comfortable the ride is inside at - 40C .GDP cannot be blamed for its misuse and inappropriateness in our reckless hands.

pj meagher wrote: Posted 2009/09/22 at 5:43 AM ET

Brilliant article.
Thx me son.
Pitts for prime minster.

timzc1 wrote:Posted 2009/09/21 at 8:31 PM ETA

straw man is being attacked here.
I'm not sure anyone ever suggested that GDP equated to happiness. It measures economic activity. There is nothing inherently bad about that. It will always be valuable to to measure that which can be measured.

Economic activity correlates to health, education and other obvious goods. An increase in GDP may not be the only thing, but it isn't a bad thing!

----
First I like your clarifications and distinctions. Thank you for gettign me to think about them.

Second, a thought I had: from the long term environmental perspective, a raise in GDP might be a "bad thing". Given that the environment is currently considered "external" to the economic system in cases where there are no "markets" (treating the air as a free garbage dump, etc.,), a raise in the GDP always (almost always?) comes with added environmental destruction.

--Timzc1

What do you think?

PolicyReport abuse

sklars wrote:Posted 2009/09/21
at 3:25 PM ETYah, right, just ask Bentham, Ricardo and the rest of the nineteenth century dismal scientists about utility, ophelimity, and human happiness.

Unfortunately, they still haven't come up with a foolproof way to add up your happiness and mine. Whereas to do the same for our dollars is, if not trivial, at least possible.

The "GDH" is new-age nonsense trying to supplant the nonsense of the bygone age of rationalism.

No, I have no solution, except to abandon economics altogether: to proscribe it, ban it like the subversive religious thought it truly is.

This story is now closed to commenting.

Note: The CBC does not necessarily endorse any of the views posted. Please note that comments are published according to our submission guidelines.

Apa yang dikemukakan di atas tadi akan bisa menimbulkan parameter-parameter yang simpang siur, yang siap didebatkan yang satu dengan yang lainnya.

Kita tentu saja tidak tertarik dengan perdebatan yang mungkin saja tidak akan ada akhirnya. Yang jelas bisa kita tangkap adalah: angka yang menggambarkan kekayaan materi adalah angka yang semu, bila tidak mendapatkan nilai dan peringkat yang membuat kita berbahagia. Seperti ungkapan : Uang dapat digunakan untuk membeli obat tetapi besar kemungkinannya tidak dapat dipakai untuk mendapatkan peringkat kesehatan yang baik dan berbagai contoh lain mengenai uang.

Alangkah banyaknya yang telah terjadi selama satu abad saja yang lalu sampai tahun ini.

Beranikah kita membandingkan dan mengantisipasi apa yang akan terjadi satu abad ke depan, tahun 2109?

Satu abad yang lalu sampai saat ini telah terjadi peningkatan kualitas hidup manusia dalam segi makanan, kesehatan, sikap hidup bersama dan peningkatan kualitas tempat tinggal masyarakat manusia maupun makhluk hidup lain termasuk tanam-tanaman. Pada awal abad yang lalu jumlah penduduk dikirakan ada sebanyak 3 miliar jiwa dan pada awal abad ini cacah jiwa menunjukkan angka enam miliar jiwa. Itu adalah rangkap dua dari angka abad terdahulu.

Apakah seratus tahun yang akan datang, jumlah jiwa manusia akan menjadi 12 miliar? Angka yang saya baca telah diramal-perhitungkan adalah 14 miliar jiwa. Meskipun hal ini tidak akan saya alami, karena saya tidak akan ada di dunia pada saat itu, saya ikut prihatin dan merasa sedikit ngeri. Bangsa Indonesia akan berjumlah lebih dari 900 juta jiwa, kah? Atau satu miliar jiwa??

Bukankah muka Planet Bumi akan tetap luasnya? Permukaan daratan adalah tempat yang ideal saat ini dihuni oleh manusia. Tetapi apakah benar akan demikian kejadiannya?

Dengan bertambahnya pengetauan, baik luasnya maupun kedalamannya, maka mungkin sekali manusia akan menempati pemukiman-pemukiman yang tidak terpikirkan pada saat ini. Sudah ada konsep sejak pluhan tahun yang lalu.

Jepang sudah membuat konsep sebuah sentra hunian di dalam tanah yang bisa menampung sekitar dua ratus ribu manusia dan tetap mendapatkan situasi hidup seperti yang sekarang di alaminya. Sinar matahari sampai ke dasar sentra hunian ini, meskipun itu di kedalaman sekian ratus meter dari muka tanah. Pada awalnya saya amat tidak bisa mempercayai itu akan mudah dilaksanakan. Bukankah Jepang adalah negara yang punya jumlah angka gempa buminya sekitar 400 kali setahun. Sekitar satu lebih pada setiap harinya sepanjang tahun yang berjalan?

Ada juga yang membuat konsep membuat sebuah module terapung, bisa mengapungkan module itu ke mana-manapun di laut. Berapa manusia yang bisa hidup di dalam module itu yang dibuat bebas dari gangguan cuaca, hujan, topan dan gempa ini? Direncanakan paling sedikit adalah 50.000 jiwa manusia dapat ditampung aktifitas hidupnya. Module ini bisa berbentuk bulat seperti bola dan dan tembus cahaya sinar matahari yang bisa dikontrol intensitasnya. Tenaga suryapun akan mendominasi tata cara pergerakan semua fasilitas yang ada di dalam module. Karena bagian bawah module ini berada di bawah muka air laut, maka beberapa tempat di bagian ini dibuat agar bisa menikmati pemandangan di bawah air. Module dengan kapasitas penampugan sebanyak 50.000 jiwa ini akan bisa menampung sebanyak satu miliar manusia apabila di bangun sebanyak 20.000 buah menempati tempat-tempat yang memungkinkan. Tempat-tempat yang ideal adalah yang berupa perairan tertutup seperti lautan terlindung seperti yang dimiliki wilayah kita, Republik Indonesia.

Kesehatan? Saya sudah melihat video sebuah alat yang masih prototype, belum komersial, ialah sebuah robot sebagai pengambil fungsi badan manusia.

Anda tentu mencermati permaian anak-anak dan komik yang menampilkan sebuah bentuk robot seperti yang biasa dikenal dengan istilah the Transformer. Bagian tubuh manusia yang kurang berfungsi, akan tetapi bisa diambil alih dengan sebuah robot yang di design khusus untuk mengambil alih fungsinya. Ada sebuah robot yang bisa dimasuki seluruh tubuh manusia dan akan bisa berjalan, dan malah memungkinkan dia mengangkat beban seberat 200 kilogram. Gerak robot semua dikendalikan oleh manusia cacat yang berada di dalam robot. Jadi kemungkinan nanti orang yang lumpuh kaki akan bisa berjalan dengan bantuan robot semacam itu, bukanlah sesuatu yang mustahil.

Sampai di sini kita bisa tidak terlalu pesimis memandang kehidupan yang akan datang. Alam akan ramah mengajak menjalani kehidupan semua makhluk yang ada di Planet Bumi, sepanjang mereka juga mau menggunakan akal budi yang bisa diterima dalam menciptakan segala-galanya yang lebih baik dari pada yang ada pada saat ini. Semua ada di alam jagad raya, ada di dalam struktur biologi badan manusia dan ada di dalam struktur akal dan pikiran manusia serta semua makhluk yang ada di dunia ini. Oleh karena manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya, maka manusia harus mengambil peran sebagai pemuka untuk bisa memimpin dalam menjaga kelestarian alam hidupnya.

Mari kita tetap hidup dengan berani, membangun kehidupan yang lebih memenuhi syarat-syarat yang selalu didambakan.

Membangun yang baik, tanpa merusak.

Anwari Doel Arnowo – 18 Oktober 2009 == 15:35



Ternyata yang saya sebut sebagai Transformer di atas ini mencuat beritanya di koran Seputar Indonesia tanggal 30 Oktober, 2009, kemarin.

Realisasikan Energi Superhero ke Dunia Nyata
Friday, 30 October 2009

Dalam fiksi, kebanyakan superhero menggunakan ”baju sakti”yang mampu menghasilkan energi berlipat-lipat dibandingkan tenaga manusia.Kini,peranti itu telah hadir secara nyata dalam kehidupan manusia.

SEMUA itu berkat pemikiran jenius dan kerja keras Yoshiyuki Sankai, pakar robot ternama dari Jepang. Sankai menciptakan HAL (hybrid assistive limb), yaitu pakaian robotik yang telah dikembangkan untuk membantu gerakan dan menambah tenaga orang yang memakainya. HAL juga bisa digunakan bagi mereka yang mengalami kesulitan berjalan. Sankai meneliti dan merancang desain HAL sejak 1992.

Kini hasil karyanya telah dipasarkan ke publik. HAL sendiri merupakan gabungan dari teknologi mekanika,elektronika,bionik,dan robotik atau secara bersama-sama disebut sebagai cybernic. Pertanyaannya, apakah mungkin manusia bisa menjadi superman? ”Di masa depan, manusia bisa saja bermutasi menjadi superman,” kata profesor dari Universitas Tsukuba ini kepada Daily Mail.

Pakaian robot ini menggunakan tenaga baterai berbobot 15 kg. Kemampuan pakaian robot itu adalah mendeteksi gerakangerakan otot melalui aliran sinyal elektrik di permukaan kulit.Pakaian robot tersebut kemudian memperkuat sinyal-sinyal elektrik itu. Tak hanya itu, pakaian robot juga bisa bergerak sendiri atau secara otomatis. Semuanya berkat sensor yang menempel di kulit.

HAL menangkap sinyal bioelektrik yang dikirim otak ketika menginstruksikan sel otot untuk bergerak. Sinyal tersebut diterjemahkan oleh sebuah chip komputer yang kemudian menentukan berapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk menggerakkan pakaian. HAL diproduksi oleh perusahaan asal Jepang,Cyberdyne.

Sankai Yoshiyuki,pendiri perusahaan tersebut, terobsesi dengan novel 1950- an karangan Isaac Asimov, I Robot. Selain itu,pria kelahiran Okayama ini juga terinspirasi komik Cyborg 009ketika dia kecil. ”Saya selalu percaya bahwa robot dan cyborg dapat menjadi layaknya manusia,” ungkap Sankai. ”Buktinya, HAL mampu bergerak dengan mulus. Saya serasa melambung di atas kain yang digunakan untuk bermain akrobat,” imbuhnya seperti dikutip Asahi.

Kemudian, ketika belajar ilmu pengetahuan di sekolah dasar, dia melakukan eksperimen dengan kodok yang dialiri arus listrik di pergelangan kaki. Beranjak remaja, dia mulai tertarik atas potensi hubungan antara manusia dan mesin.Ketika itu,dia mulai berpikir bagaimana caranya menggunakan mesin untuk membantu manusia?

Dia pun bercita-cita menciptakan pakaian robot dengan kemampuan cyborgtersebut. Sebagaimana dikutip situs Massachusetts Institute of Technology (MIT), ketika kuliah di Universitas Tsukuba Sankai juga terinspirasi saat banyak temannya menderita kelumpuhan.Sejak saat itu, dia fokus dengan mendalami pemanfaatan teknologi dalam dunia kesehatan.

Hingga prototipe pertamanya dibuat Sankai pada 1997. Sankai membangun sebuah jembatan antara dunia fiksi ilmiah dengan realitas lewat penemuan HAL.Awalnya, prototipe HAL 3 merupakan exoskeleton (kerangka luar) metal berpenggerak motor. Exoskeleton ini bisa dipasang pada kaki untuk memberi tenaga pada gerakan pengguna. Sebuah tas punggung berisi komputer dengan koneksi jaringan nirkabel serta baterainya diletakkan di bagian ikat pinggang.

Pakaian yang mirip kerangka luar ini membuat pemakainya berjalan lebih mudah. Pakaian ini diciptakan untuk idealisme Sankai. HAL dapat digunakan oleh orang yang menderita lumpuh karena stroke atau kerusakan syaraf tulang belakang. Selain itu,pakaian ini juga ideal untuk pekerjaan berat,misalnya membantu menanggulangi bencana. Dalam pemakaian normal, baterai HAL mampu bertahan selama lima jam.

HAL sudah memasuki produksi massal dan akan dijual dengan harga sekitar Rp45 juta. Bahkan beberapa hari setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS),Sankai menerima undangan resmi dari Departemen Pertahanan untuk mempresentasikan ”pakaian robot” yang dibuatnya.Beberapa bulan kemudian, Sankai pun menghadiri rapat di Pentagon.

Sankai sempat ikut ambil bagian dalam proyek yang digunakan kepentingan militer dalam menangkal dan perang melawan terorisme. Namun,di kemudian hari,dia menolak bekerja sama dengan perusahaan robot yang khusus menyediakan alat pertahanan. Dia berkilah hati nuraninya tidak sepakat bahwa robot harus diterjunkan untuk berperang. ”Saya hanya sepakat bahwa robot untuk jalan damai, bukan untuk menyakiti manusia,”ujarnya. (andika hendra m)

No comments: