Sunday, September 6, 2009

Saya pernah menulis yang senada, judul JIPLAK, baca bagian bawah


Indonesia-Malaysia
Sesama Penyolong Jangan Saling Mendahului

Minggu, 6 September 2009 | 03:00 WIB

Remy Sylado

Kompas ikut membikin ramai klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia, mencantumkan judul lagu ”Terang Bulan” sebagai ciptaan orang Indonesia.

Sebelumnya beberapa brodkas TV stel yakin mencocokkan lagu kebangsaan Malaysia ”Negaraku” dengan lagu ”Terang Bulan”. Malahan seseorang yang mengaku anak Sjaiful Bachri, pemusik Indonesia yang pernah ”lari” ke Malaysia, sebagai pencipta ”Terang Bulan”.

Salah satu, jika bukan satu-satunya media pers Indonesia pada 1957 yang memuat berita tentang ”Terang Bulan” menjadi lagu kebangsaan Malaysia adalah majalah Musika No 1 Th I September 1957. Majalah yang dipimpin Wienaktoe itu menurunkan berita berjudul ”Negaraku” sebagai berikut: ”Melodi lagu ’Terang Bulan’ jang kesohor itu achirnja dengan resmi diterima sebagai lagu kebangsaan Malaya pada hari kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 j.l. dengan diberi nama dan tekst baru ’Negaraku’. Pihak RRI dan Pemerintah Indonesia untuk menjatakan penghargaannja, telah melarang diputar dan dimainkan atau diperdengarkan melodi tsb pada setiap kedjadian biasa”.

Kalau kita membaca Het Nationale Volkslied oleh Margreet Fogteloo & Bert Wikie (AW Bruna Uitgevers BV Utrecht), jelas diuraikan bahwa ”Negaraku” yang dulu di Indonesia dikenal sebagai ”Terang Bulan” adalah ciptaan orang Perancis bernama Pierre Jean de Béranger (1780- 1857).

Siapa sebenarnya orang ini? Ensiklopedia pertama yang terbit setelah Indonesia merdeka, Ensiklopedia Indonesia, 1954, oleh TS Mulia dan KAH Hidding mencatat nama Pierre Jean de Béranger sebagai pencipta sejumlah lagu rakyat (Pr chanson populaire, Ing. folk song, Bld, volkslied). Di antara ciptaannya yang terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Perancis di sini, Februari-Agustus 1811, sampai digegaskannya Bandung sebagai Parijs van Java, 1925, adalah Chansons morales et autres, Chansons nouvelles, Chansons inédites.

Selama itu, pengaruh kebudayaan Perancis di Indonesia, jadi bukan di Malaysia, memang besar. Di Manado, yang sekarang disebut katrili, dan merupakan kesenian tradisional, berasal dari kata bahasa Perancis quadrille. Lalu, di Bandung, teater tradisional longser merupakan serapan kata bahasa Perancis, aba-aba seorang sutradara mengucapkan kata longer untuk bergerak lalu. Dan, jangan lupa kereta sado di Batavia berasal dari bahasa Perancis dos à dos, artinya duduk saling memunggung.

Tetapi, di antara tokoh-tokoh seni Perancis yang pernah lama mukim di Indonesia, bukan Malaysia, adalah penyair terkemuka perkusor Simbolisme abad ke-19, Arthur Rimbaud. Pada 1876 penyair ini tinggal di Salatiga sebagai serdadu batalion I infanteri. Tentang dirinya di Salatiga bisa dibaca dalam Het Koninklijk Negerrlands-Indisch Leger 1830- 1950 oleh Zwitzer & Heshusius (Staatsuitvegerij ’s-Gravenhage).

Salah seorang sahabat Rimbaud, René du Bois, bahkan menetap di lereng gunung Ungaran sampai tua, dan termasuk yang dikunjungi Mata Hari (Margareha Geertruide Zelle) sang ’polyglot harlot’ yang dieksekusi mati oleh otoritas Perancis pada Perang Dunia I sebagai mata-mata.

Maunya, dengan sekelumit gambaran ini, jangan sampai gairah klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia lantas melupakan peribahasa ”semut di seberang laut tampak gajah di depan mata tak tampak”. Sebab, kita juga punya kebiasaan nyolong.

Sebagai pembuka ingatan, perhatikan dua lagu yang dianggap memiliki pathos kebangsaan, yaitu lirik ”Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau”, dan ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”. Yang pertama mengingatkan lagu Perancis ciptaan Rouget de Lisle. Memang hanya bagian depan, bagian yang sama dimanfaatkan Beatles juga.

Tetapi yang kedua, ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”, adalah 100% pencurian atas lagu gereja ”What a Friend We Have in Jesus”. Tidak tahu apa ilusi grup musik perempuan asal Surabaya, Dara Puspita, pada 1960-an menyanyikannya menjadi ”Ibu Pertiwi sedang bersusah”. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main.

Harapannya, dalam klaim- klaiman yang sedang panas sekarang ini, jangan pula melahirkan pemeo baru ”Sesama pencuri jangan saling mendahului”. Sebab, ujungnya kalau urusan marah-marah ini dibeberkan dengan kasus-kasus plagiat yang ternyata tidak sepi di Indonesia, malunya harus ditanggung bersama.

Sekadar contoh lain untuk mengingatkan itu, pada 1971 Markas Besar Angkatan Darat, ditandatangani oleh Brigjen Soerjadi, telah membuat malu memberi piagam kepada Ismail Marzuki sebagai komponis yang disebut mencipta lagu ”Auld Lang Syne”. Periksa Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki, oleh WS Suwito, Titik Terang, Jakarta. Tentu saja ini ngawur yang menyedihkan. Lagu ”Auld Lang Syne” itu nyanyian tradisional Skot yang digubah oleh Robert Burn dan dicatat penciptaannya melalui Preston & Son, London, 1799.

Sebelum itu, Ismail Marzuki disebut juga sebagai pencipta lagu ”Als die orchideeën bleien” dan ”Panon Hideung”. Padahal, lagu yang pertama, yang kemudian berlirik bahasa Indonesia ”Bunga anggrek mulai timbul”, adalah ciptaan Belloni, pemimpin orkes Concordia Respavae Crescunt, yang dinyanyikan oleh Miss Lie pada 1922.

Yang kedua, ”Panon Hideung” adalah lagu tradisional Rusia, diaransemen di Amerika oleh Harry Horlick & Gregory Stone dan masuk hak cipta pada 1926 di bawah Carl Fischer, Inc, lalu diperkenalkan di Indonesia, melalui Bandung pada tahun yang sama oleh pemusik Rusia bernama Varvolomeyev.

Termasuk Presiden RI Soekarno, pada 1961 membuat kesalahan memberikan Piagam Widjajakusuma kepada Ismail Marzuki, yang menyebut dalam piagam itu bahwa lagu ”Hallo- hallo Bandung” adalah ciptaan Ismail Marzuki. Padahal, lagu itu aslinya ciptaan seorang prajurit Siliwangi bernama Lumban Tobing yang dinyanyikan bersama peleton Bataknya dari long march Yogya-Bandung di zaman revolusi. Tentang kematiannya bisa dilihat lukisannya di Museum Siliwangi, Jl Lembong, Bandung.

Lagu ”Hallo-hallo Bandung” ciptaan Lumban Tobing ini hanya sama judul, tapi beda melodi dan lirik dengan lagu Belanda nyanyian Willy Derby pada 1929 ketika radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij) beroperasi di Bandung versi baru rekaman ini dinyanyikan lagi oleh Wieteke van Dort di TV Belanda dalam De Stratemakeropzeeshow, 1972, dan dicetak teksnya pada 1992 dalam De Wduwe van Indië.

Nah, ”Terang Bulan” juga tersua dalam De Wduwe van Indië dalam dua teks, yaitu bahasa Indonesia gaya KNIL dan bahasa Belanda. Kita baca teks yang pertama saja:

Terang boelan

terang boelan di kali

Boewaja timboel

katanja lah mati

Djangan pertjaja

orang lelaki

Brani soempa

dia takoet mati.

Asal saja teks lama di atas tidak jadi ejekan kepada kita, Indon, sebagai ”brani soempa, dia takoet mati”. Kalau ada tuduhan begitu, rasanya elok diingat teriakan Bung Karno dulu, ”Ganyang Malaysia!”

Remy Sylado Pengamat Musik, Novelis, Dramawan

Nilai 5 A A A
Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
hiku @ Minggu, 6 September 2009 | 13:48 WIB
mengakui kelemahan dan kesalahan sendiri emang susah.. so better cari pihak lain sebagai pelampiasan emosi. it's what we 've done now
Diana @ Minggu, 6 September 2009 | 13:18 WIB
Makanya media-media Indonesia sebelum ngompor-ngomporin rakyat cek dulu faktanya. Back to journalism basics..
dimas @ Minggu, 6 September 2009 | 11:10 WIB
buset... lengkap abiss.. salute bung remmy..



http://www.youtube.com/watch?v=JPcNnHEsFM0 Mamula Moon

Jiplak

Created by Anwari Doel Arnowo

Thursday, June 29, 2007

Saya sedang di depan department store BAY di simpang empat Yonge-Bloor East, Toronto, pada tanggal 23 Juni 2007, ketika terlihat oleh saya ada tiga orang pemusik menggunakan guitar dengan pelengkap pengeras suaranya dengan piawai dan professional. Mereka ini ternyata bukan pengamen, karena mereka berdiri di atas panggung kecil. Biarpun panas matahari yang terang benderang seperti di Jakarta, mungkin sesuai ramalan yang 31˚ Celsius, suasana jadi segar. Segar? Benar, jadi segar karena ada lagu yang seakan mengikat dan menarik pendengaran saya ke arah suara guitar dan paduan suara mereka bertiga yang nyaman. Yang terutama amat menarik perhatian saya diluar itu semua adalah lagunya. Saya tidak usah terlalu lama memikirkannya karena saya mengenali lagu itu sebagai amat populer di Indonesia, yang terkenal dengan nama Kopi Dangdut. Daaaaaang — duuuttt!!

Saya lihat para penyanyinya menurut kiraan saya adalah ras asal Latino (Amerika Selatan). Memang sudah lama sekali saya tau bahwa Kopi Dangdut adalah jiplakan yang menjadi amat luar biasa terkenalnya, maka saya mendekati ke arah panggung kecil itu. Saya bilang panggung kecil akan tetapi tidak kecil karena trottoir disitu lebarnya hampir sepuluh meter. Salah satu yang tidak menyanyi ada di belakang panggung, ke arah dialah saya mendekat. Saya bilang: ”Excuse me, could you be so kind to tell me, what is the name of this song they are singing right now?” sambil menunjuk ketiga orang yang sedang menyanyikan lagu Kopi Dangdut tetapi dalam bahasa Spanyol. Kalau saja saya tidak tahu bahwa itu jiplakan, pasti saya bangga juga dong ada orang asing, dalam bahasa Spanyol menyanyikan lagu Indonesia.

Orang itu menjawab: “I am sorry Sir, but I am only a sound man, really, I am sorry I can not help you with that. They should know” katanya juga sambil mengindikasikan kepada para penyanyi tersebut. Saya menyahut Thank You sambil beranjak pergi, karena saya tergesa hendak menuju ketempat lain, jadi saya tidak menunggu mereka berhenti menyanyi, untuk memenuhi keinginan tahu saya apa nama judul asli lagu Kopi Dangdut yang saya duga berasal dari Cuba itu. Yang penting sekarang saya bertambah yakin!

Lagu ini telah populer di Indonesia karena dinyanyikan sambil bergoyang-goyang secara sensual oleh Camelia Malik, ternyata memang benar-benar berasal dari Cuba dan bernama Maliendo Café. Saya belum mendengar keluhan atau tuntutan dari manapun soal ini.

Sekarang saya ingin merujuk kepada jaman dahulu, sudah lama sekali, pada waktu jamannya pak Ibnoe Soetowo berkuasa di Pertamina. Saya belum bisa mengingat entah apa nama sebuah restoran di San Francisco ("RAMAYANA"?) yang lengket dengan seorang celebrity penyanyi yang bernama Bob Tutupoly disitu. Yang jelas restoran tersebut ada kaitannya dengan kegiatan Pertamina.

Seorang penyanyi lain yang bernama Bing Slamet pernah menyanyi disitu. Bung Bing ini, yang favourite saya, apalagi pernah saya beruntung telah sempat mengobrol beberapa kali bersama dia, menyanyikan sebuah lagu yang berjudul: I left My Heart in San Francisco.

Ada apa pula yang terjadi dengan lagu ini? Ada lho… …

Lagu merdu ini dinyanyikan dengan langgam keroncong, yang jadi tambah merdu pula bagi telinga orang Indonesia. Tetapi apa lacur?? Bukan masalah lagunya. Masalahnya adalah iramanya! Langgam keroncong!! Bung Bing dan kawan-kawannya dituntut melanggar undang-undang hak cipta, gara-gara langgam keroncong. Saya memang tidak bisa mengikuti kasus ini karena mungkin tidak ada berita yang menjadi kelanjutannya di Indonesia.

Rupanya bukan Kopi Dangdut dan Keroncong saja yang mengganggu pikiran saya.

Masih banyak dan masih banyak lagi.

Anda kan pasti tahu lagu Sunda yang namanya Panon Hideung, lagunya enak dan berbahasa Sunda.

Isi kata-katanya memuji kecantikan mata yang hitam seseorang. Seingat saya lagu ini dikatakan sebagai “ciptaan” Ismail Marzuki. Mungkin sekali pak Ismail Marzuki ini hanya bermaksud menyadur saja, dan masyarakatlah yang mengatakan bahwa itu ciptaannya. Akan tetapi ketika saya mencoba memainkan pada instrumen piano, sebuah lagu bernama Dark Eyes saya lupa ciptaan siapa, ternyata lagunya persis sama. Padahal ini adalah lagu lama yang saya duga lagu milik Rusia dan yang banyak dinyanyikan dalam kehidupan dari bangsa yang suka berpindah-pindah tempat tinggalnya (Nomad, Gypsi) dari Rumania, Eropa. Kalau pendapat saya ini diragukan maka saya kira keaslian lagu Dark Eyes bisa dikonfirmasi kepada ahlinya yang akan bisa diketahui nama pengarang dan tahun berapa dikarangnya. Kemudian kita bandingkan dengan waktu dan tahun Ismail Marzuki dilahirkan.

Wah pikiran saya jadi menjalar kemana-mana karena masih ada juga yang mengganjal dihati saya.

Pada jaman Presiden Suharto memerintah, pernah dikomandokan agar semua tingkat anggota masyarakat melakukan senam dengan teratur. Istilah perintahnya mungkin menggunakan kata imbauan, tetapi karena yang mencanangkan seorang seperti dia, maka kedengaran dan dilaksanakan seperti komando militer. Senam pagi menjadi semacam “kewajiban”, dan tiba-tiba dengan deras dan kencang muncullah sebuah lagu untuk senam yang populer. Tingkat kepopuleran dan lajunya amat cepat. Saya berusaha mendapat keterangan siapa sih pengarangnya, karena saya pernah mendengar lagu itu entah dimana.

Akhirnya, setelah beberapa lama kemudian, saya teringat bahwa lagu itu sebenanya adalah lagu latar belakang dari sebuah film seri drama dengan pelaku utama bintang film yang kocak seperti Benyamin Sueb, hanya saja di mukanya ada tahi lalat yang cukup besar. Filmnya bukan film Indonesia tetapi film Jepang, pada waktu saya dulu belajar disana pada awal tahun 1960an. Bintang filmnya namanya saya sudah lupa juga, akan tetapi nama peran didalam film itu adalah Tora, jadi terkenalnya: Tora San.

Saya kira ini bisa dilacak seperti halnya lagu Dark Eyes.

Pada suatu saat, saya menonton film Jepang di kedutaan Jepang di Jalan Thamrin yang gedungnya sudah almarhun karena telah dibongkar dan berdirilah Plaza Indonesia. Ada petugas kedutaan yang orang bangsa Jepang di situ, yang ikut juga menonton bersama kami para undangan terbatas. Saya tidak memperhatikan judulnya, karena saya sedang kangen mendengarkan bahasa Jepang. Ternyata film yang diputar adalah film drama yang diperankan oleh Tora San. Nah waktu terdengar lagu latar belakang film seri yang sudah saya sebut diatas, dengan cepat saya gamit orang Jepang tersebut perlahan sambil berbisik dengan perlahan.

“Anda kan sudah lama disini, ya?” kata saya, dan dia mengangguk.

“Anda pernah mendengar lagu ini disiarkan di televisi-televisi Indonesia, kan?”

Dia mengangguk lagi. Masih diam saja.

Tidak sabar, saya melanjutkan bertanya: “Ini lagu Jepang, kan?”

Eh, eh, malahan dia menengok ke arah saya dan menaruh jari telunjuknya bersilang dengan bibirnya.

Ah, sial pikir saya, dia menganjurkan untuk tidak berkata-kata selama melihat film. Okay, sayapun diam sampai akhir cerita film, dan para penontonpun istirahat keluar ruangan sambil menunggu film yang berikutnya.

Ternyata diluar ruangan dia datang mendekat, tersenyum kecut, sambil membongkok dengan sikap apologetic.

Dia berkata dengan lemah lembut: “Saki hodo, honto ni sitsurei shimashita = Mengenai masalah tadi, saya benar-benar minta maaf”. Dan selanjutnya dia mengatakan bahwa itu benar lagu Jepang dan dia tidak ingin didengar oleh orang lain kalau dia menjawab masalah tersebut seperti itu. “Bukankah banyak yang bisa bahasa Jepang disitu?” tambahnya.

Akhirnya saya juga harus meminta maaf kepadanya karena pertanyaan saya tadi telah menimbulkan sedikit kerepotan terhadap dirinya. Yang jelas, hati saya menjadi lega dan saya menyadari telah “agak keliru” karena menilai telah menganggap dia kurang sopan menyuruh saya diam, dengan jalan memberikan tanda telunjuk bersilang di bibirnya.

Contoh-contoh diatas lengkap dengan conto-contonya adalah lagu-lagu yang telah dijiplak, dicontek, dipalsukan dan istilah-istilah lain yang senada yang menimbulkan rasa kurang menyenangkan hati siapapun.

Semua kata yang mewakili istilah itu pada intinya dan yang sebenar-benarnya adalah sama saja artinya dengan mencuri, mengambil hak orang lain. Dalam hal ini hak orang asing dari bangsa yang negaranya lain.

Ah, ternyata masih ada lagi.

Semua orang dari anak-anak sampai yang dewasa, belum berselang beberapa tahun ini telah ikut keranjingan dan tergila-gila kepada sebuah lagu berjudul Cucak Rowo, yang kata-katanya agak cabul tetapi lucu, kurang sesuai untuk kanak-kanak. Beberapa teman sebaya saya, yang dulu mengalami menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada masa kanak-kanak, mengatakan bahwa itu adalah lagu KBI: Yippi yaa yippi yippiii yeeeeee, begitu kata mereka lagunya.

Pada suatu saat reuni SMA IIIB kota Malang di Bandung, ada sebuah team yang berpartisipasi menyanyikan secara paduan suara terdiri dari suami-istri berpasang-pasangan, irama dan lagu yang itu, tetapi menggunakan kata-kata salah satu bahasa, saya tidak pasti apakah bahasa Jerman atau bahasa belanda. Kepada salah satu anggota yang ikut menyanyikannya, sempat saya tanyakan, dan dia menjawab bahwa lagu itu oleh KBI telah ditiru dari Eropa.

Pada musim panas tahun lalu, saya sedang berada di sebuah toko di Eaton Centre, di Queen Street, Toronto.

Oleh karena sedang menunggu istri saya yang berada di bagian lain, saya menjadi iseng. Saya berada di bagian buku-buku untuk khusus kanak-kanak. Ada display sebuah buku dan salah satunya ditempel ke dinding.

Tetapi anehnya ada sebuah tombol yang ditaruh secara mencolok. Saya dekati dan bisa saya baca: A singing book.

Saya tekan tombol, di monitor kecil muncul petunjuk-petunjuk bagaimana membunyikan lagu dan akan muncul kata-katanya, seperti halnya di sebuah computer saja layaknya.

Saya menekan kearah petunjuk gambar yang memperlihatkan sekumpulan anak-anak yang berkemah di pinggir sebuah tanah lapang. Apa yang terdengar, suara sekumpulan anak-anak yang menyanyi dengan gembira dalam bahasa Inggris. Lagunya? Pasti bisa anda tebak: lagu Cucak Rowo dengan irama lagunya yang gembira. Kali ini saya terpesona, terpana dan kaget tidak bisa berkata, dumbfounded. Pelayan toko di bagian itu mendekat dan menyapa saya: “Is everything all right, Sir?” Rupanya dia melihat mata saya melotot.

Kita semua mestinya menduga-duga dan menyangka apapun yang bisa masuk akal kita sendiri. Yang kita ketahui dari masalah ini, dan yang secara mudah bisa kita cerna adalah terjadi karena melalui proses dalam masa yang panjang, di mana sebelum pernah ada perhatian Hak Cipta dan Hak Intelektual. Kalaupun ada yang semacam ini, biasanya itu hanya terjadi dan berlaku undang-undangnya di dalam suatu negara tertentu saja. Sekarang masalah seperti ini sudah global, sudah mendunia.

Bukankah kita pernah membaca perebutan pengakuan hak mengarang lagu terkenal: Bagimu Negri?

Perebutan ini terjadi diantara antara dua orang pengarang lagu yang seingat saya seseorang dengan Koesbini.

Tidak jelas bagi saya, siapa menjadi pemenangnya.

Saya duga Koesbini adalah pemenang.

Di Jepang pun, pernah terjadi suatu peristiwa yang telah menjadikan proses terkenalnya lagu Bengawan Solo nya pak Gesang.

Begitu terkenalnya lagu itu pada sekitar tahun 1963an, sampai pada waktu seorang penyanyi dengan gaya rock menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan seenak isi perut dia. Yang keluar dari mulutnya adalah: Bengawangngngng sorrroo, soro sottt !!!. Semua orang Indonesia yang waktu itu betempat tinggal di Jepang kaget sekali, ketika pertama kali mendengarnya. Celaka dua belas, masyarakat umum sebagian besar karena telah menjadi penggemarnya, ya terikut ulah dialah akhirnya.

Saya duga sampai sekarang lebih berkesan yang keliru ini dari pada yang benar.

Perkumpulan serdadu-serdadu Jepang yang pernah ikut menyerbu Indonesia dan ikut pula mendudukinya, telah pernah mendatangkan pak Gesang ke negeri Sakura, Jepang, dan memberikan penghargaan kepadanya sesuai serta pantas dan selayaknya.

Bukan bengawan Solo saja yang dikacau-balaukan.

Ada yang namanya It’s Now or Never oleh Elvis Presley. Saya memang kuno dalam hal ini, tapi kan memang saya orang yang sudah tua.

I am old fashioned because I am an old guy.

Lagu gaya Elvis itu banyak yang suka, terutama orang yang belum pernah mendengarkan bagaimana aslinya.

Lagu aslinya bernama : O SOLE MIO dan biasanya dimainkan dengan style tremolo atau dengan alat music mandolin yang bergetar suaranya.

Kita juga tanpa sadar tidak mengetahui bahwa lagu kanak-kanak orang Barat Twinkle Twinkle Little Star dan lagu alphabet ABCDEFG, itu persis sama lagu dan iramanya. Lagu Old McDonald has a Farm juga mirip.

Dulu saya selalu dicekoki oleh pengertian bahwa lagu klasik itu awet sepanjang masa dan orang tidak bosan karenanya. Sepanjang hidup saya, saya mengamati bahwa tidak semua orang suka dengan pengertian itu. Mereka yang sebaya dengan anak saya, kurang suka musik klasik.

Mayoritas mereka adalah pembenci lagu keroncong juga.

Mendengarnya saja, akan mungkin langsung menggantinya dengan kesukaan mereka sendiri.

Saya penggemar lagu klasik karangan Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Strauss dan Strauss-Strauss yang lain, F. Chopin, Mendelssohn dan Tchaikovsky, Beethoven dan Brahms serta yang lain-lainnya, tetapi saya juga mengenal Glenn Miller, Dave Brubeck dan George Shearing. Beruntung sekali saya, yang di dalam dunia vokalia di Indonesia saya kenal dengan almarhum Pranajaya dan teman saya satu sekolah di SMP: penyanyi Onny Soerjono yang dulu beristrikan Tuti Soebardjo. Meskipun saya tidak kenal, cuma pernah bersama istri saya bersalaman satu kali saja dengan Titiek Puspa, saya adalah penggemar lagu-lagu karangannya yang amat banyak itu.

Bagaimanapun, sebagaimana halnya setiap orang yang sepanjang hidupnya mengenal dan menggemari musik, saya juga mempunyai favourite lagu dan tetap menganggap lagu itu seperti benda yang amat berharga. Kalau disuruh memilih lagu ini atau memilih istri saya, ya saya memilih istri saya. Kalau disuruh memilih lagu itu dan uang tunai seratus ribu CANDollar, saya memilih uang. Hanya sekian sajalah kesukaan saya kepada lagu favourite.

Kalau dilarangpun kan saya masih bisa menyanyikannya didalam hati!! Siapa takut?? Saya kan masih sehat!!

Lagu kesukaan saya adalah lagu yang dinyanyikan oleh Nat King Cole berjudul: Fascination yang dikarang pada tahun kelahiran saya: 1938.

It was fascination, I know

Seeing you alone with the moonlight above……

…………….like this ……..

……………… when I touched your hand ….

……………………………….. wah …………

Lagunya menghanyutkan dan mengharu biru hati saya. Perasaan haru ini tidaklah harus ada hubungannya dengan rasa hubungan percintaan manusia heterosexual atau manusia jenis lain.

Irama lagunya lah yang sungguh mengasyikkan.

Kalau sudah begini saya bisa lupa masalah surga, neraka, demokrasi dan korupsi ….

Sampai hari inipun saya masih menyukai Fascination.

Created by Anwari Doel Arnowo

Thursday, June 29, 2007

---oo000ooo---




No comments: