Sunday, January 3, 2010

What you believe is right today, could be wrong tomorrow

Just for your info: Tan Tjiang Ay designed our house where we live now. He already passes the line of being an architect, an artist AND a philosopher. Great guy.

Dear all,
Semoga renungan ini menginspirasi kita

WARISAN

Oleh : Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sumber : Fit & Proper : Memberdayakan Manusia, Memenangi Persaingan

Pembicaraan terjadi antara saya dengan arsitek kondang Tan Tjiang Ay, mengenai apa yang akan kita tinggalkan kalau kita tutup buku. Ketika saya mengatakan bahwa sebagai arsitek, posisinya lebih mudah, karena yang akanâ€Ĺ“ditinggalkan nanti adalah hasil karya yang nyata dan berwujud, beliau membantah. Beliau lalu mengatakan bahwa yang ditinggalkan seorang arsitek bukan benda mati seperti bangunannya, tetapi legacy- nya, yaitu dampak dan kualitas positif yang bisa meng- inspire, menjadi poros penyemangat bahkan landasan action dan pola pikir bagi penerusnya.

Pembicaraan jadi semakin seru dan berusaha menjawab, Apakah seseorang yang masih hidup perlu memikirkan apa yang akan dia tinggalkan setelah kematiannya, selain harta? Orang yang cuek dan tidak setuju bisa saja malah memikirkan. Apakah saya memang perlu merancang apa yang akan saya nikmati ketika saya sudah di alam lain? Mati ya mati…

Kita lihat banyak tokoh dan ahli, yang hingga bertahun-tahun setelah wafatnya masih disebut-sebut jasa, pemikiran, teori dan falsafahnya. Saya teringat dalam pemakaman seorang tokoh pendidikan, penerusnya secara sederhana mengatakan: Beliau sudah meninggalkan kesejukan dalam organisasi kita, yang sebelum beliau pimpin, sering bertengkar dan berselisih paham.

Kultur inilah yang sampai sekarang kita jaga dalam rapat-rapat dan cara berorganisasi. Saya jadi teringat sebuah quote, if you lead a meaningful life, you never really die. Mungkin ini yang dimaksud dengan legacy. Tetapi apakah legacy hanya perlu dipikirkan oleh pemimpin besar, Negara, atau CEO perusahaan yang beromzet triliunan?

Secara pribadi, konsep legacy ini jadi berpengaruh dalam lamunan-lamunan saya. Yang jelas, memang banyak orang yang punya keinginan untuk mewariskan spirit, energi, visi, nilai, dan berharap ide-idenya dikemudian hari tidak dianggap basi atau bahkan salah oleh para penerusnya. Bukankah banyak kecanggihanyang ditinggalkan oleh para tokoh dan ahli yang sampai sekarang pub bisa kita implementasikan, kita jalankan, bahkan masih kita kagumi, sehingga dunia, sepeninggalnya, malah menjadi lebih baik?

The Legacy You Leave is The Legacy You Live

Siapa sih yang tidak ingin nama atau nama perusahaan-nya melegenda secara harus dan positif? Kenyataannya banyak diantara kita, terutama para pemimpin atau orang yang me- manage , karena kesibukan dan fokus pada masa sekarang, tidak menyadari bahwa segala tindah-tanduk, strategi, dan kebijakannya akan meninggalkan bekas. Bekas itu bisa positif, tetapi bisa juga membentuk dendam, kekalahan, kerugian, kekeroposan, bahkan keterpurukan. Ini juga berarti di setiap tugas, kebijakan, dan strategi kita, ada PR tambahan, yaitu mempertanyakan apakah yang kita buat dan gariskan sekarang akan shape the future atau malah sebaliknya merugikan. Dengan pola pikir demikian, penerus atau pengganti kita tidak perlu selalu menggnati policy atau bahkan merombaknya ketika baru menjabat. Ia j ustru bisa menggunakannya, bahkan mengambil manfaat dan meneruskan apa yang pernah kita bangun serta cita-citakan. Pemikiran ini juga bisa membuat orang tidak aji mumpung ketika menjabat, karena ia peru berpikir panjang tentang apa yang akan terjadi bila saya sudah tidak di sini lagi.

Legacy :

Dampak dan Kualitas Positif yang Tertinggal

Kita tahu bahwa kita bisa menjadi lebih baik dengan belajar dari keselahan masa lalu. Orang yang melihat ayahnya sering memukuli ibunya, bisa berjanji pada dirinya sendiri untuk seumur hidup menghindari kekerasan. Kesalahan strategi yang menyebabkan perusahaan merugi dan berutang banyak, bisa menjadi momentum perbaikan bagi penerusnya agar lebih hati-hati. Ia dapat melakukan antisipasi dengan menghindari kesalahan atau dosa-dosa masa lampau. Bahkan, banyak tokoh yang melakukan kesalahan, mencetak kerugian, kekhilafan, dan kegagalan bisa menjadi pemicu kehidupan yang lebih baik, namun itu bukanlah

legacy.

Legacy adalah kualitas positif, spirit, penyemangat, nilai, dan dampak positif yang menjadi landasan kehidupan seterusnya yang lebih baik. Dampak yang terlihat misalnya adalah semakin pintarnya sekelompok m anusia karena spirit belajar dalam kelompok yang dibangun seorang tokoh seperti Ki Hajar Dewantoro, semakin :hijau dan produktifnya lingkungan sehingga para penerus bisa melanjutkan kualitas kehidupan yang lebih baik, atau semakin kuatnya self esteem sekelompok orang sehingga mau dan giat mengembangkan profesinya, walaupun profesi tersebut tidak ada duitnya

Merancang Legacy adalah Pilihan

Mewariskan kekayaan sampai tujuh turunan tidak termasuk membuat

legacy. Artinya, terkadang membuat legacy lebih sulit daripada sekedar mengumpulkan kekayaan untuk diwariskan. Cara kita hidup, berkata-kata, dan mengambil esensi dari kualitas kehidupan, kemudian mentransfernya ke dalam kebijakan, peraturan, dan sistem lah yang perlu kita tata. Legacy yang kita turunkan juga akan menggambarkan visi dan obsesi kita selama hidup. Semakin jelas visi dan kuat obsesi kita, semakin besar dampaknya. Kalau kita berobsesi kuat agar lingkungan kerja bersih berintegrasi, tindakan dan kata-kata kita pun akan bergaung jauh ke depan. Kalau kita ingin memajukan kaum nelayan dan mati-matian membuat kegiatan, mendidik, menciptakan lapangan kerja, serta mengakomodasi, sepeninggal kita para nelayan pasti masih menikmati spirit kita dan meneruskannya dengan kekerasan hati pula.

Berpikir tentang

legacy sebenarnya bisa merupakan katalis dalam pengambilan keputusan, karena lebih berorientasi jangka panjang. Memikirkan legacy pun tidak perlu terkait dengan matinya seseorang. Setiap pemegang jabatan sesungguhnya bisa membiasakan diri berpikir utuk mewariskan sistem,value , SOP yang mantap, positif, dan memberi nilai tambah di areanya, sehingga ketika dia pergi, semua yang ditinggalkan berbekas keharuman namanya. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, janganlah kita pergi meninggalkan borok.

oooooOOOOooooo

Regards,

Dwi Prabaningtyas

Sistem & Administrasi SBU Jasa Konstruksi

Tel. (62-21) 3909018 ext. 311.

Sebuah TANGGAPAN:

Yang saya terima dengan akal saya pada saat ini adalah: Saya telah lahir, dan sekarang sadar sekali bahwa saya tidak pernah merasa, minta dilahirkan. Kermudian sejak lahir sampai mati nanti, menjalani kehidupan sesuai dengan pola hidup, yang terbentuk sendiri sesuai dengan aktivitas saya selaku seorang manusia dalam bersosialisasi dengan manusia dan alam di sekeliling saya. Saya tidak bisa meramal masa depan saya, tetapi saya bisa berkaca dengan masa lalu saya yang telah saya alami sendiri.

Banyak belajar dari kesalahan dan kebenaran yang terjadi. Itulah sebabnya saya tidak mau terlalu terikat dengan masa lalu dan amat mencari-cari tau bagaimana bentuk masa depan saya. Manusia boleh pandai merancang dan merencanakan hidupnya, tetapi bisa saja apa yang terjadi nantinya akan berlainan dengan rancangan dan rencananya. Tidak perlu kita terlalu kecewa kalau kita mengalami hal-hal seperti itu. Pedoman saya: mengalirlah seperti air, menuju ke tempat-tempat yang lebih rendah. Dalam sejarah Planet Bumi belum pernah ada air yang mengalir ke atas, kecuali apabila air telah berubah bentuk menjadi uap. Uap bisa "mengalir" ke atas.

Oleh karena hal-hal yang saya sebutkan tadi, saya telah membuat garis-garis pedoman:

1. Bahwa siapa yang pernah lahir pasti akan mati di kemudian harinya. Belum ada kecualinya.

2. Sudah saya ketahui, SAAT INI, secara medis, apa yang meninggalkan tubuh manusia itu pada waktu manusia mengalami kematian, belum ada istilah kedokterannya. Umum telah membiasakan diri memakai istilah nyawa, sukma dan ruh, tetapi istilah medis belum dikenal dengan suatu nama. Tetapi, PADA SUATU SAAT NANTI DI KEMUDIAN HARI, status tidak tau dari segi medis ini mungkin akan berubah. Entah satu abad lagi atau lebih. Jadi saya tidak akan membuat repot diri saya dengan hal yang di luar nalar saya, yang jelas sekali di luar jangkauan kemampuan cara pikir saya, pada saat ini. Mungkin akan ada yang mau ngotot menerangkan kepada saya masalah nyawa, sukma dan ruh, yaitu hal yang tidak dikenal secara medis itu. Saya mungkin bersedia mendengarkan, tetapi sepanjang belum masuk kedalam akal saya, yang saat ini masih sehat, saya tidak bisa menerimanya. Suatu saat nanti kalau saya sudah lebih menua, mungkin saya tidak akan sesehat seperti sekarang. Daya ingat saya dan daya pikir tidak setajam saat ini, saya akan berubah, karena kemampuan menganalisa pun akan berkurang juga.

3. Jadi saat ini, saya tidak mau mengatur masa depan dengan kemampuan yang pada hari ini masuk di akal, tetapi kemudian, setelah saya mati, mungkin akan berubah menjadi tidak masuk akal. Hal-hal semacam ini sungguh amat saya hindari. Saya bisa berikan conto: seseorang menolak warisan orang tuanya sendiri, karena dia ingin menikmati hasil keringatnya sendiri. Dia ingin berprestasi sendiri baik dalam mengumpulkan harta maupun dalam memupuk tumpukan ilmu dan lain-lain pengetauannya. Menyebut hal ini, saya, kalau saja saya mengetaui hal seperti ini pada waktu lima puluh tahun yang lalu, maka saya akan menjadi orang itu. Bukankah dalam kehidupan nyata memang ada orang-orang seperti itu? Lalu apa gunanya kalau saja kita sekarang berpikir untuk meninggalkan segudang materi dan segunung ilmu pengetauan dan seluas lautan dan samudra kebijakan kepada turunan kita, kalau mereka nanti menolaknya, sedang bisa saja kita kan tidak tau, karena sudah mati?

Akhir kata saya mengajak diri saya sendiri sekarang untuk tidak terlalu memikirkan masa depan mengenai alamnya dan tingkah laku manusianya, karena sesuai pengalaman manusia hidup, amat banyak yang berada di luar kemampuan kita, hanya karena ingin untuk ikut mengatur-aturnya.

Saya lihat teman saya mengatur anaknya sehingga menjadi juara main golf (pialanya segudang) sampai dia berumur 21 tahun, dan selanjutnya anak itu tiba-tiba meninggalkan semua kegiatan golfnya. Memegang alat golf, bahkan pergi ke lapangan golf saja tidak mau. Anak sayapun ada yang les guitar atas kemauannya sendiri, sekarang memegangpun dia tidak mau lagi. Ada yang juga yang piano atau kegemaran lain.

Saya sendiri (karena sudah mencantumkan sebagai cita-cita saya) belajar Ilmu Arsitektur Kapal (Ship Design sebagai Naval Architect), tetapi pada kenyataannya saya kemudian menjadi pengusaha yang berusaha di dalam bidang pertambangan mineral.

Saat ini saya mendekati umur 72 tahun, kalau saya menoleh ke belakang, saya ingin tidak menyesali apa yang terjadi kepada diri saya pada masa lalu.

Manusia merencana dan merancang, kenyataannya apa yang terjadi berada di luar nalar sebelumnya, yang telah dipercayainya dengan teguh dan tekun sebelumnya.

Apa ini "nasib" atau "takdir" atau "garis tangan" atau error, atau kecerobohan atau ke-tidak-mampuan manusia?? Kita terima saja apa adanya.

Salam saya,

Anwari Doel Arnowo - 3 Januari 2010

No comments: