Wednesday, August 19, 2009

Dokter sama pakaiannya dengan tukang cukur rambut, juga sama=sama tidak bisa melakukan pekerjaannya untuk diri sendiri

Entry for July 05, 2007

Dilemma Dokter-Obat

Created by Anwari Doel Arnowo

Wednesday, July 04, 2007

Hari masih pagi, mata saya sudah kena colok oleh dua berita mengenai dokter:

1. DOKTER DOKTER DITUDUH TERRORIS. Beritanya ada di koran. Ini dipicu oleh berita mobil sedang terbakar dan membentur gedung terminal utama di Airport Glasgow di Inggris. Ini pemicunya bagi umum. Bagi pihak keamanan? Sudah lama diketahui dan ini sebagai percepatan penindakan selanjutnya. Ada percobaan bom mobil di London dan Scotland pada akhir minggu lalu. Ada enam orang dokter, seorang mahasiswa kedokteran dan teknisi Laboratorium, total semua yang ditahan ada delapan orang. Mereka ini semua berkaitan dengan Britain’s National Health Service dan bersamaan waktunya mereka itu bertugas di dua buah Rumah sakit di Inggris dan Scotlandia. Mereka semua mempunyai hubungan tertentu dengan tempat-tempat lain diluar negeri dan para penyidik telah mendapat petunjuk yang samar bahwa mereka ini berlatar belakang di Irak, Lebanon, Jordan, India dan Saudi Arabia. Mereka semuanya berumur dua puluh lima sampai dua puluh sembilan tahun.

Nama-nama mereka adalah:

· Bilal Abdullah, 27, seorang dokter Irak yang bekerja di Royal Alexandria Hospital di Paisley, Scotlandia

· Khalid Ahmed, asal Lebanon, dia bekerja dan selalu bersama-sama dengan Abdullah; dia adalah pengemudi dari mobil SUV yang terbakar yang membakar 90% dari badannya serta mempunyai harapan tipis untuk hidup.

· Mohammad Jamil Asha, 26, asal Palestina-Jordania adalah dokter ahli bedah syaraf, yang ditangkap bersamaan dengan istrinya Marwah Dana Asha, 27, Sabtu tanggal 30 Juni yang lalu di sebuah highway di Utara Inggris. Mohammad bekerja di North Staffordshire Hospital di Stoke-on-Trent. Marwah Dana dahulu bekerja sebagai teknisi laboratoriun di sebuah rumah sakit di Shrewsbury, Inggris.

· Mohammad Haneef, 27, dokter asal India bekerja di Halton Hospital di Cheshire, Liverpool Selatan pada tahun 2005. Dia ditangkap di Brisbane, Australia ketika hendak berangkat terbang ke tujuan satu arah.

· Sabeel Ahmed, 26, post graduate trainee yang bekerja erat bersama Haneef di Cheshire, ditangkap di Liverpool Sabtu malam.

· Dua orang lagi yang belum diumumkan namanya, berumur 25 dan 26 yang tinggal di medical residence didalam kompleks Royal Alexandra Hospital. Mereka diduga berasal dari Saudi Arabia.

Yang mengejutkan saya: kalangan medis dengan gelar yang bisa dipakai untuk kesejahteraan manusia, sampai dituduh dan ditangkap oleh yang berwajib sebagai tersangka terroris??

Dugaan saya sebagai seorang awam, mereka telah dirasuki oleh ideologi yang mempercayai bahwa apapun yang dituju adalah untuk perbaikan kondisi sosial sesuai standard dia . Terror yang dituduhkan terbukti telah menggambarkan kekerasan dengan menabraknya SUV di Glasgow Airport, sebuah langkah awal (?) yang sama sekali tanpa guna.

2. SEBUAH EMAIL: DOKTER DI INDONESIA Email ini berasal dari seseorang yang menceritakan tentang salah diagnosa dari dua orang dokter yang terkenal dari dua rumah sakit terkenal di Jakarta. Salah diagnosanya di ketahui setelah diperiksa ulang oleh seorang dokter di Singapura dan satu lagi oleh seorang dokter di negeri belanda. Saya sudah minta ijin untuk memuat seluruh emailnya untuk menjadi bagian dari tulisan saya ini. Karena jawaban tak kunjung datang, maka dengan menyesal saya tidak bisa memuat isi keluhannya dengan lengkap.

Saya sudah ingin menahan diri untuk tidak lagi menulis ini, menulis soal dokter dan soal obat di Indonesia. Rupanya saya gagal dalam menahan diri kali ini.

Isinya pasti akan menggambarkan sifat sinis saya terhadap dunia ini, meskipun saya tidak ingin untuk mengenyampingkan bahwa diantara para proffessional ini masih ada yang baik dan amat baik. Seperti biasanya yang kita kenal di dalam masyarakat umum, nila setitik–rusak susu sebelanga . Dalam dunia Kedokteran di Indonesia nila sudah terlalu banyak, untuk tidak dirombak. Kalau hal ini terjadi di Persatuan Insinyur Indonesia bidang Konstruksi misalnya, maka yang terjadi adalah robohnya jembatan, sebuah gedung dan bangunan lain.

Ilmu Ekonomi mirip dengan Ilmu Kedokteran, karena kerusakan yang timbul, sebagai akibat dari keteledoran, kecerobohan, keserakahan materi dan ke-tidak-perdulian, akan berakibat yang tidak segera bisa dideteksi dengan mata telanjang. Kemungkinan besar akan melalui masa proses yang agak lama. Kalau pada tahun ke satu dideteksi ada salah diagnosa, kesehatan tubuh manusia maupun kesehatan ekonomi negara, maka pasti akibatnya baru akan tampak tahun kemudiannya bahkan bisa jadi pada waktu setelah bertahun-tahun kemudian. Seperti biasanya pula dokter dan ekonom akan menyalahkan pihak lain. Ada obat palsu lah, ada tidak kedisiplinan sang penderita lah, ada juga karena salah dignosa oleh dokter lain, dan pasti bukan dia sendiri. Ekonom sama persis!! Menyalahkan politik, kondisi keamanan, atau apapun juga, sepanjang itu bukan sang ekonom sendiri.

Kedua jenis professional ini teramat tidak professional. Tidak jujur kepada masyarakat dan tidak jujur kepada diri mereka sendiri.

Pada tahun 1970an saya sudah menulis kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang beralamat di Jalan Dr. Sam Ratulangi, Jakarta Pusat. Isi surat saya simple: Saya membaca buku cerita fiksi, isinya menceritakan ada seorang dokter di Amerika selaku Kepala Medis dari sebuah rumah sakit. Karena perintah dia untuk mengaplikasikan penisilin kepada seorang pasien, maka sang pasien menjadi almarhum. Kasus ini diketahui oleh seorang dokter lain yang menjadi wakilnya dalam tugas sehari-hari. Pada suatu saat sang wakil menyaksikan bahwa sang kepala menenggak sesuatu, yang terbukti kemudian, bahwa itu adalah obat yang menyebabkan kecanduan dan menyebabkan halusinasi.

Itu dongengnya Arthur Hailey, nama bukunya Strong Medicine atau The Final Diagnosis (maaf saya lupa yang mana, maklum saya membacanya sekitar empat puluh tahun yang lalu). Dongeng sampai disini saja, akan tetapi di kepala saya timbul pikiran “kotor”. Saya berpikir kalau misalnya saya sakit dan pergi ke seorang dokter yang sedang hangseperti itu, apa yang terjadi kepada diri saya? Dokter teler atau hang, apa bisa memberi diagnosa yang sehat? Begitulah, saya langsung menulis surat kepada IDI dan setelah cukup lama baru mendapat jawaban dari dr. Azrul Aswar (maaf bila salah eja, apalagi sekarang sudah Professor).

Pertanyaan saya: Apakah dokter-dokter tidak dikenakan keharusan diperiksa kesehatannya secara menyeluruh dan periodik, sebelum dibolehkan berpraktek?

Jawaban pak Sekretaris Jenderal IDI adalah: sampai saat ini belum ada tindakan kearah hal tersebut. Titik. Itu saja, namanya surat dines, ya, bunyinya dines. Dingin dan mak nyes, tidak enak. Saya duga sampai hari ini tahun 2007 pun, pasti belum ada tindak lanjutnya, karena saya belum mendengar yang seperti itu. Jangan-jangan di Amerika pun tidak ada keharusan seperti itu.

Saya masih berpendapat bahwa para dokter di seluruh dunia, tetap perlu sekali untuk diperiksa secara physic yang menyeluruh dan juga kesehatan mentalnya. Dokter pasti mengerti maksud saya, karena orang awampun saya yakini juga akan mengerti. Seperti tukang cukur rambut: dia tidak akan mampu mencukur rambut yang ada di kepalanya seperti dia mencukur pelanggannya.

Bagaimana dengan obat?

Saya telah menuliskan dalam beberapa tulisan saya yang lalu bahwa selama saya setahun tinggal di Kanada, saya belum pernah diberi obat, resep obat, apalagi anti biotik. Saya sendiri membawa pain killer (peghilang rasa sakit) dari Indonesia, karena kalau gigi sakit mendadak atau badan pegal-pegal itu saja saya minum, sedangkan di Kanada itu bukan obat legal yang bisa dibeli.

Selama setahun ini belum satu lempeng yang berisi 10 butir yang saya habiskan.

Dokter disini saya beritahu semua keluhan macam apapun, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan dan di X Ray macam-macam, saya dinyatakan sebagai seorang yang:

at your age (69) you are a very healthy person. Untuk catatan, hampir semua dokter disini, menurut cerita semua orang, mengatakan segan menyuruh melakukan X-Ray, terutama terhadap manula seperti saya. Mereka mempercayai bahwa sinar X ini bisa merusak jaringan tubuh kita.

Beberapa waktu yang lalu saya tulis email kepada teman saya yang berbincang dengan para email buffs lain mengenai masalah kedokteran dan obat yang situasinya amburadul; di China. Diantara mereka ini malah ada orang Indonesia yang seorang dokter dan telah bertahun-tahun lamanya tinggal di Republik Rakyat China. Dialah justru yang tidak puas dengan sistem kesehatan disana.

Saya ikut memberi tanggapan masalah obat dengan menceritakan mengenai seorang teman saya yang mempunyai usaha menjual obat, berupa apotik.

Dia bisa memberi nasihat-nasihat yang baik dalam membeli dan mengonsumsi obat.

Saya sungguh berterimakasih kepadanya.

Apa saja katanya?

Yang paling utama saya ingat: saya ini (itu teman saya) bukan menjual obat, tetapi menjual racun, karena obat tidak berbeda dari racun.

Sekarang mari kita bahas yang berikut ini, yang amat krusial, gawat, penting dan menjadi teramat penting.

Seorang bekas medical detailer di Jawa Timur, pernah berjumpa dengan temannya yang juga medical detailer yang masih aktip dan yang sukses.

Teman ini memberitahu saya bahwa sang Medical Detailer Sukses tadi amat sukses sekali nilai penjualannya.

Dia sukses karena pernah berani memberikan sebuah sedan Toyota terbaru, sedan dan berharga ratusan juta Rupiah, gratis. Kepada siapa? Kepada seorang dokter di sebuah kota berhawa dingin.

Saya sendiri melihat praktek dengan pengalaman langsung bahwa seorang dokter di daerah, di Kalimantan atau di Semarang atau mungkin dari kota lain kalau berpergian ke luar kota diberi biaya perjalanan gratis.

Kalau bepergian ke Jakarta, anak dan istrinya pun diberi fasilitas penginapan hotel dan transportasi, mobil dengan sopir, biar 24jam sekalipun.

Itu saya tahu.

Dan itu belum seberapa.

Ada fasilitas menghadiri seminar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ada keberangkatan berapa dokter ke kota Vancouver untuk menghadiri konperensi mengenai STROKE? Ke Australia? Dan apa hubungannya sang istri atau suami dengan kegiatan kedokteran yang diseminarkan atau dikonperensikan? Ini semua secara sengaja dilakukan dengan perencanaan sejak beberapa bulan sebelumnya. Saya berbicara juga dengan medical detailer yang saya kenal juga, telinga saya makin panas.

Semua praktek tidak senonoh diatas dilakukan dinegeri kita dan oleh dokter-dokter yang saya kenal secara pribadi sejak lama. Saya tahu, bahwa pada kegiatan yang baik tetapi telah tidak disenonohkan itu, saya adalah salah satu pihak yang ikut mendanainya. Karena saya membeli obat di apotik. Karena saya adalah salah satu dari para orang yang pernah sakit, yang memerlukan obat.

Karena saya tidak mau percaya kepada dukun.

Karena saya tidak pernah mau pergi ke pengobatan yang bersifat alternatip.

Karena saya hanya percaya kepada ilmu kedokteran modern sebagai ilmu yang paling masuk akal bagi saya.

Pada suatu saat saya merasa ada yang mendesak-desak di dalam dada, karena masalah obat dan dokter itu mencuat-cuat tiada habisnya di surat kabar dan media televisi.

Selain itu ada seorang teman mengeluh karena anaknya yang terlalu gemuk, umur dua puluh tujuh tahun beratnya seratus tiga puluh kilogram. Memang badannya lumayan tinggi, maka ketika dia kena gangguan di ususnya lumayan paniklah semua keluarganya. Ada tiga kali dia dirawat di RS Pondok Indah dan menghabiskan biaya yang cukup tinggi, hampir setengah miliar Rupiah. Bagi saya itu adalah biaya yang amat mahal akibat kurang bisa menahan selera makan. Ternyata dengan biaya sekian itu masih diharuskan menyambung pengobatan di Singapura dan karena lebih dari sebulan disana maka menurut perkiraan saya habislah dua kali dari yang dikeluarkan itu. Kalau teman saya itu bukan orang yang mempunyai uang tunai, bagaimana nasib sang anak?

Mengapa orang sakit kalau didiagnosa salah di Indonesia selalu melanjutkan pengobatannya di Singapura? Yang sulit dicari jawabnya adalah mengapa tidak ada peningkatan mutu jasa dokter di Indonesia?

Apakah benar Singapura itu mutu pelayanan medisnya tidak bisa disaingi oleh pihak dunia kedokteran Indonesia?

Bukankah diantara mereka ini sudah amat banyak yang bergelar professor dan ahli ini dan ahli itu. Apakah kenaikan mutu kesarjanaan sudah tidak lagi dapat dipakai sarana untuk peningkatan mutu pelayanan?

Yang ditingkatkan hampir selalu hanya kemewahannya.

Lihat saja, hampir semua rumah sakit mempunyai fasilitas VIP malah VVIP (Very Very Important Person), dan P adalah Person bukan Patient. Dalam sebuah rumah sakit maka yang paling nomor satu adalah pasien, bukan dokter bukan obat dan bukan pula VIP. Bukan juga kamar yang mewah ada TV ada koelkast dan ada sofa yang empuk, ada telepon yang canggih. Untuk sakit tertentu, hal-hal yang dianggap mewah itu malah dianggap mengganggu upaya penyembuhan orang sakit. Kalau saya sakit dan cucu-cucu saya datang menengok dan berebutan menonton televisi, maka itu akan mengganggu saya. Sebagai seorang kakek mungkin saja saya akan berkata, biarkan mereka nonton televisi. Hanya karena basa-basi saya menahan derita!! Kan saya ini orang Jawa!!!

Pada tahun 1974 pertamakali saya sudah pernah melakukan general check up di Singapura, di suatu klinik di Shenton Way.

Kemudian setiap kesempatan saya ke Singapura saya sempatkan ke dokter disana periksa ini dan periksa itu. Suatu saat saya periksa di Specialists Centre, lupa apa yang saya keluhkan waktu itu, tetapi yang saya ingat masalah lain. Waktu saya diwawancara oleh dokternya, dia bilang: “It was only yesterday your Minister of Foreign Affairs, was here, and he was sitting right there on the chair that you are sitting on”

Ini ngomong apa lho, apa hubungannya sama saya? Agak jengkel saya sama dia, mau promosi! Lalu saya juga jengkel sama pak Adam Malik, kenapa menteri kesini segala, apa Departemen Luar Negeri tidak memiliki dokter yang diandalkan? Karena memang sudah selesai urusannya saya langsung berdiri dan berkata: ”I am done with you, right? Good bye!!” Ngacirlah saya cepat-cepat tanpa menoleh lagi.Pada tahun 1997 saya batuk luar biasa, mungkin setiap menit puluhan kali. Dalam sebuah rapat business di Singapura yang sepuluh orang hampir tiap hari, saya mengganggu yang peserta rapat yang lain. Suatu sore setelah rapat saya sempatkan ke Mount Elizabeth Hospital. Karena menunggu dokternya lama, maka kelihatan sebuah Walking Clinic yang melayani General Check Up, saya masuk dan langsung bisa diperiksa. Setelah semua darah diambil sample dan Rontgen dan Urine dll selesai, tinggal wawancara dokter menyeluruh. Tidak berjalan lancar wawancara ini, karena beberapa kali dokter pergi tergesa-gesa ke sebuah ruang kecil di arah belakang kursinya.

Saya bicara belum tuntas, dia sudah berdiri lagi. Ada sekitar empat kali dia berbuat seperti itu.

Terakhir kalinya rupanya terlambat dan dia tidak bisa menahannya, karena saya sempat melihat ingus mengalir panjang turun dari lubang kiri hidungnya, dan dia berlari masuk ke bilik favorit nya itu. Saya pun berdiri, tidak mengatakan apa-apapun dan segera keluar dari ruangan. Paramedic disitu terbengong-bengong melihat saya keluar, dan saya tetap berjalan keluar. Toh saya sudah bayar dimuka. Persetan!! Ada dokter sakit kok bekerja, dan itu bukan akan meringankan batuk saya.

Saya ceritakan kepada salah satu rekan business saya yang sama-sama menginap di Raffles City Hotel, malah dia bilang: “let’s go up and drink something to make you feel better”. Di tingkat 73, dimana saya bisa melihat daerah sekitar pulau Bintan/Batam dan kota Johore Baru itu, dia memesan Johnny Walker double untuk saya. Sambil menikmati pemandangan tiga negara: Singapura-Indonesia dan Malaysia, saya tenggak habis si Walker ini, dan rapat keesokan harinya saya bisa mengikuti dengan lancar. Itu karena saya tidur nyenyak sesudah minum, sampai pagi. Itulah obat yang paling mujarab. Tidur nyenyak.

Itulah pengalaman dua kali dengan dokter Singapura yang mungkin orang lain tidak menceritakannya; menjadi sebab tidak lagi memeriksakan diri saya di Singapura.

Tahun 1998 saya pergi mengelilingi dunia dan bertemu istri saya di Bangkok. Malam itu saya menghabiskan sekitar duapuluh lebih oyster mentah di Bangkok.

Saya juga minum bir bersama teman saya yang disertaisopirnya yang ikut juga makan dan minum. Sopir yang orang Thailand ini makannya sedikit, sehingga saya yang menghabiskannya.

Pagi harinya saya berangkat ke Singapura sudah sakit perut dan ke WC dua kali didalam gedung di lapangan terbang, di dalam pesawat saya juga ke toilet. Sampai di Singapore saya menginap di Raffless Hotel, di sebelah Raffless City, sebuah hotel yang semuanya suite room seharga 650 Singapore Dollar semalam. Tetapi saya sakit perut luar biasa dan saya ke WC dua belas kali. Badan terasa sobek semua. Tidak satu kalipun saya mau pergi memanggil dokter, biarpun istri saya sudah mendesaknya. Mengapa begitu? Karena saya ingat pengalaman yang menjengkelkan sebanyak dua kali dengan dokter Singapura yang sering dibanggakan orang lainnya. Toh keesokan harinya saya sudah sembuh!!

Saya hanya meminum obat sakit perut tanpa resep dokter yang saya beli di sebuah toko di basement Raffles City Hotel. Jadi selain saya menyembuhkan diri sendiri dengan cara sendiri, saya tidak usah dan terbebas dari membayar jasa memanggil dokter kekamar hotel, yang mungkin seperti yang saya dengar bisa mencapai seratus SinDollar(?). Berapapun saja, semoga saya tidak akan pernah berobat apa-apa kesana lagi. Di Indonesia saya tidak pernah ditemui oleh dokter yang hidungnya mengeluarkan ingus seperti itu !!

Kalau tidak salah pada tahun 2002an saya sekali lagi menulis surat kepada IDI kealamat yang sama di Jalan Dr. Sam Ratulangi, hanya untuk kali ini saya lampirkan sebuah copy kepada Lembaga Konsumen beralamat di sebuah jalan simpang kecil Duren Tiga.

Melihat bangunan kantor yang ditempati lembaga ini saja, kepercayaan saya sudah turun drastis. Isinya mengenai keluhan saya terhadap kolusi yang ada dan sedang mewabah dengan hebat antara Dokter dan Pabrik Obat. Sesuai dugaan maka saya tidak pernah menerima jawaban apapun dari kedua-duanya, baik IDI maupun LKI. Mungkin pikir mereka ah, Anwari orang cerèwèt yang dulu itu ………

Saya perlu mengusulkan agar yang menjadi kepala atau direktur sebuah rumah sakit, sebaiknyalah pemerintah menentukan bukan dokter. Biar seorang dokter mengurus mengenai medis saja. Yang lain seperti management rumah sakit, mengenai keuangan, mengenai gaji dan lembur serta generator cadangan bila listrik mati, yang harus setiap menit bisa menyala untuk emergency (emergensi? Mengapa tidak darurat?). Saya lihat ditulis dengan huruf besar di Rumah Sakit Tebet: EMERGENSI, apa sudah kehabisan kata Indonesia ? Ini saya tulis karena saya lihat seorang dokter yang beban kerjanya terlalu berat, lebih condong tidak mampu bekerja dibidangnya sendiri dengan maksimum.

Created by Anwari Doel Arnowo

July 04, 2007

---ooo000ooo---

said 26 months ago Edit · Delete · Permalink · Comments (0)

No comments: