Sunday, April 18, 2010

RENUNGAN


Sebuah Renungan Kecil.
Anwari Doel Arnowo – 19 April, 2010.

Ini saya kutipkan dari posting terdahulu di blog ini untuk anda renungkan:
You can’t do anything right! Why can’t you be like ____ ?
Problem: This can be said to your child or your subordinate or your sibling. The problem? Comparing two people, first of all, is always a fallacy. People are different, with different ways of doing things, different strengths and weaknesses, different human characteristics. If we were all the same, we’d be robots. Second, saying negative things like this to another person never helps the situation. It might make you feel better, and more powerful, but in truth, it hurts your relationship, it will actually make you feel negative, and it will certainly make the other person feel negative and more likely to continue negative behavior. Everyone loses.
Solution: Take the mistakes or bad behavior of others as an opportunity to teach. Show them how to do something. Second, praise them for their positive behavior, and encourage their success. Last, and most important, love them for who they are, and celebrate their differences.

Bagian dari sebuah phrase yang saya kutip di atas, pada hari ini telah menyebabkan saya mengingat hal berikut ini:

Dua hari yang lalu, saya sedang duduk seorang diri di sebuah tempat untuk umum  yang nyaman dan bersih. Tanpa saya ketaui, dari sekitar tempat duduk yang banyaknya ada sekitar dua puluh buah yang sedang kosong itu, tiba-tiba saja ada yang duduk dua kursi jauhnya di arah sebelah kanan saya.
Dengan sedikit rasa ingin tau saya menoleh kepadanya.
Ternyata dia adalah seorang anak laki-laki, sekitar usia 13 tahunan, berpakaian lengkap tetapi agak lusuh dan rambut yang tidak rapi cara menyisirnya. Saya yakin kalau dia memang mau membuat semua penampilannya lebih teratur dan rapi pasti dia akan terlihat normal. Lalu saya sedikit mengamatinya dan berkesimpulan secara cepat bahwa dia ini memang sengaja tidak berpenampilan rapi. Saya tidak melihat dia lagi dan pura-pura tidak memperhatikannya.
Tidak lama, hanya kurang dari satu menit, si Anak tiba-tiba berkata: “Bapak mau ke mana?”
“Ah, saya tidak ke mana-mana, mau duduk di sini saja sebentar” jawab saya.
Di berkata perlahan volome suaranya: “ Saya yatim, Pak ..”
Eh, inilah yang saya dengar meskipun tidak terlalu jelas, saya menangkap suaranya. Saya langsung tercekat dan sudah tau apa yang dimauinya.
Anak ini pasti pemalas, kata saya di dalam batin saja.
Tiba-tiba saja saya tidak peduli lagi apapun yang akan terjadi, saya menjawab cepat:
“He, aku juga seorang yatim, bukan hanya kamu”.
Bukan menunggu sampai mengerti apa arti kata-kata yang saya katakan, dia tidak malu-malu lagi berkata: “Minta uang dong, Pak?!”
Nah benar, kan, kata batin saya …. Dan saya siap nyerocos lagi, ini kesempatan baik.
“Kamu ini masih sehat kok minta-minta. Kamu sekolah ya?”
“Iya Pak, saya sekolah sih, tapi sudah pulang kok …”
“Kamu pulang saja dan belajar, biar menjadi pintar. Hentikan minta-minta seperti ini apalagi mengatakan bahwa kamu itu yatim. Itu tidak baik justru bagi diri kamu sendiri. Bermalas-malas belajar, malah minta-minta lagi …”
“Seribu saja, Pak ……” dia memaksa menjawab sambil memotong kalimat saya.
Eh anak ini sudah prfessional juga, lalu apa jawab saya??
“Begini ya!?! Kalau sekarang kamu lapar dan perlu makan, saya belikan dan kamu makan dan minum di depan saya. Kamu tidak akan dapat satu senpun dari saya. Karena itu tidak membuat kamu lebih baik. Mau uang, bekerjalah. Banyak anak seumurmu bisa jual koran atau memayungi orang yang kehujanan dan mereka akan memberi kamu uang. Atau kerja yang lain yang kamu bisa dan mendapat upah halal!!” itu kata-kata saya.
Saya tidak melihat kesan apapun di mukanya. Saya yakin dia sudah kebal terhadap saran dan nasihat orang lain, yang semuanya ditaruh di tempat yang jauuuh sekali di luar daya jangkauan pikirannya. Kata-kata saya dan saran orang atau nasihat siapapun juga, kalau tidak menghasilkan uang, adalah sesuatu yang tidak ada gunanya bagi dia.
Meskipun demikian halnya, selagi dia berusaha menunjukkan seakan-akan dia sedang mendengarkan saya, kesempatan begini saya guakan juga sebaik-baiknya, dan melanjukan ocehan saya: “Kalau kamu lanjutkan yang seperti ini, mengemis, maka itu bukan disebut bekerja dan akan melekat di ingatanmu bahwa mengemis adalah cara paling mudah untuk berhasil medapatkan uang. Uang cuma bagus kalau kamu bisa mendapatkannya dengan cara bekerja. Sebaiknya malah kerja keras. Bukan minta-minta seperti ini,apalagi mengatakan kamu itu seorang yatim!.”
Saya berhenti berkata-kata. Saya dengar dia mengatakan sesuatu yang intinya dia sudah makan, tetapi saya sudah tidak mau mendengarkan apapun dari dia, saya tinggalkan dia menjauh, tanpa memberi dia makanan atau minuman apapun atau uang dan nasihat lain. Cukuplah sudah.
Kalimat terakhir yang ada di kutipan diatas: Last, and most important, love them for who they are, and celebrate their differences, bisakan atau tidak bisakah diterapkan di kisah saya di atas??
Harapan saya adalah moga-moga saja, ocehan saya ini bisa menjadi shock therapy bagi dia. Apakah para pembaca akan melakukan yang tidak sama seperti saya, silakan saja.
Anwari Doel Arnowo – 19 April, 2010.






No comments: