Indigenous – asli
Anwari Doel Arnowo
Minggu, 19 Oktober 2008
Kata judul di atas juga diartikan sebagai asal muasal atau kata yang terkenal: pribumi.
Conto: Harimau itu indigenous to Asia dan Kangaroo juga indigenous to Australia. Apalagi? Ainu Jin, Jin berarti bangsa, adalah bangsa yang indigenous to Jepang bagian Utara. Kata pribumi dalam artian yang seperti ini saya tidak keberatan sama sekali, demikian juga Eskimo atau Inuit di Canada Utara. Mungkin meskipun tidak terlalu “tua atau purba”: Bangsa Tengger di lereng gunung Bromo dan bangsa Baduwi di Banten Selatan, suku bangsa Anak Dalam atau suku Kubu di Sumatra Selatan, boleh dong kita golongkan kedalamnya, golongan indigenous.
Saya bermaksud menulis masalah seperti ini, agar masing-masing bangsa bisa mengenalnya lebih baik, bahkan mencintai mereka. Orang yang politikus di Australia menganggap kaum Aborigin di sana hanya sebagai object yang perlu untuk dilestarikan demi kepentingan jumlah mereka untuk keperluan pemungutan suara di Pemilihan Umum.
Apa sebab mencintainya??
Anda tau dan saya juga, akhir-akhir ini dengan gaya globalisasi, orang amat berbangga dengan status “international” yang dipasang di dadanya, bakan di jidatnya. Di dalam bangsa Indonesia banyak yang menyembunyikan identitas dirinya sendiri karena dia merasa bangga dengan status dirinya yang “sekarang lain” dari aslinya. Orang Indonesia banyak yang mencat rambutnya mejadi pirang, meskipun kulitnya tetap coklat gelap. Saya jumpai yang seperti ini ada di Kuta, Bali atau di daerah Mangga Dua di bagian Jakarta Kota. Seperti biasanya, saya tidak menyatakan keberatan apa-apa. Cuma batin saya saja yang mebisiki saya: orang aneh!
Kalau kita menghargai ke-indigenous-an (kenapa tidak ada kata indigenousity, ya?) maka kita bukan tidak mungkin akan bisa menambah rasa nasionalisme yang tidak sempit, dan malah bisa mengikut sertakan mereka terkancah ke dalam perjuangan hidup sebagai bagian penting bagi bangsanya dan nantinya akan otomatis: bagi negaranya.
Apakah Partai Politik yang empatpuluhan jumlahnya itu ada yang mengemukakan masalah suku-suku yang saya sebut tadi?? Adakah yang mengangkat hak-hak dasar manusia Indonesia termasuk orang Tengger, Baduwi, Kubu dan lain-lain seperti Dayak Kaharingan??
Bagaimana sikap kita sekarang yang sudah terbiasa menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang terlalu banyak di dalam iklan-iklan promosi perusahaan. Kalau perusahaan swasta penyalur barang dan budaya asing, maka globalisasi sudah menjadi gaya hidup, tetapi kalau BUMN, yang manapun, sebaiknya menggunakan 100 persen bahasa Indonesia. Kecualiannya ada: yakni apabila iklannya dimuat di CNN atau di Time Magazine atau di Yomiuri Shinbun di Tokyo. Kalau untuk konsumsi di dalam negeri, mengapa mesti berbahasa Inggris?? Hampir sembilan puluh persen nama-nama komplek perumahan dan apartemen serta kondominium menggunakan bahasa Inggris. Metro TV saja banyak menggunakan bahasa Inggris dalam siaran berita serta pengucapan iklan. Kalau becus dan benar cara mengucapkan sih lumayan, tetapi kalau terlalu banyak salahnya begitu, sebaiknyalah digunakan saja bahasa Indonesia yang BINAR (Baik dan Benar, BINAR itu nama judul acara di TVRI).
Suatu saat saya pernah mengunjungi pameran kaum Aborigin di hotel Grand Hyatt, Jakarta pada awal tahun 1990an. Lukisan-lukisan atau torehan-torehan warna-warna cat, berupa bulatan dari yang kecil-keci hingga yang besar-besar, sungguh menakjubkan saya. Semua titik-titik dan bulatan warna warni itu disusun-susun demikian rupa sehingga menggambarkan sesuatu yang menjadi bentuk-bentuk tertentu, malah bentukan hasilnya tidak akan sama bagi setiap orang yang melihatnya sedikit teleiti. Terjadi kontak pikiran dan batin siapa yang melukis dengan mereka yang melihat hasil jadinya. Pada waktu itulah malah terbuka mata saya, bahwa manusia yang dikesankan kotor, bodoh dan malas oleh teman saya yang orang Australia pendatang dari Eropa itu, ternyata salah besar. Ketika saya naik kapalnya di sebuah daerah di Mandurah di Selatan kota Perth, dipinggir pantai ada segerombolan orang Aborigin yang sedang berkelompok. Saya lihat salah satunya melambaikan tangannya kepada saya, secara otomatis saya ingin melambai kembali. Tetapi teman saya yang emigran di Australia itu, tidak membenarkan kalau saya membalasnya, malah sedikit membentak berkata kepada saya: “ Pak Anwari, do not do that, do not even look at them”. Karena saya tamunya dia, memang saya tidak jadi melambai kembali dengan tangan saya, saya hanya tersenyum saja kepada saudara Aborigin itu. Tetapi hal itu telah menjadikan penyesalan terhadap diri saya, mengapa saya mengikut saja ide orang Australia yang gila seperti itu?! Bukankah saya tidak akan berbuat begitu misalnya ketika saya sedang berperahu bersama dia (si Australia gila) di sungai Kahayan di Kalimantan Tengah dan ada seorang Dayak melambai kepada kami? Saya pernah jadi rasis, tidak dengan sengaja, hanya karena tidak melambai kembali kepada orang Aborigin yang memberi salam kepada saya. Saya menyesali diri saya sendiri.
Kalau Kangaroo saja disebut indigenous mengapa tidak seorang Aborigin?
Jangan-jangan banyak juga bangsa Indonesia yang rasis seperti telah saya lakukan di Perth itu, tidak menghargai bangsanya sendiri, justru malah suku bangsanya sendiri yang asli. Mereka itu kan sudah ada terlebih dahulu daripada kami, seperti orang Baduwi yang kadang-kadang kita lihat berjalan kaki di jalan-jalan di sudut-sudut kota Betawi ini??
Kebudayaan? Iya ada juga sifat yang meremehkan kebudayaan sendiri. Sudah jarang sekali saya mendengar kita menyebut kata Tayuban, sebuah pesta tari menari di desa-desa di Jawa. Jaman dahulu Tayuban menjadi sebuah peristiwa bergengsi, karena beberapa orang kaya bisa membakar tembakau yang digulung dengan mata uang kertas dan mabuk karena tuak, minuman keras yang dari pohon enau. Saya tau bahwa mabuk berlebihan dapat menyebabkan perbuatan yang tidak senonoh, tetapi peristiwa pesta serta tari-tarian itu adalah pokok peristiwa, bukan sifat pongahnya dan mabuk-mabukannya. Dua hal terakhir ini adalah ekses saja. Kalau saja memang undang-undang yang berlaku mengatakan itu merupakan bentuk pelanggaran, ya ditindak saja lah pelanggarannya. Tetapi saya keberatan kalau Tayuban itu menghilang karena dinyatakan sebagai sesuatu yang haram. Bukankan pesta Dangdutan dan Orkes-orkesan dengan band-band lain juga bisa menimbulkan ekses yang sama, bisa malah lebih. Ditambah dengan rebutan kacis masuk di KONSER Dangdut atau yang meniru ngamen gaya luar negeri?? Hormatilah tari Cokek Betawi, Tayuban Jawa dan kesenian Sunda yang menyanyi dan menari. Kalau tidak suka, ya jangan ikut lah, tetapi tidak perlu menunjukkan sikap jijik dan mengarah ke sikap menjauhi. Keroncong sama saja. Saya bisa menghargai keroncong karena biarpun saya cukup bisa memainkan alat-alat musik, apalagi yang disebut electronic keyboard, saya tidak terlalu piawai untuk memainkan lagu keroncong. Lumayan sulit bagi saya. Seperti pernah saya sebutkan bahwa saya pernah bertemu dengan The Blue Diamonds yang terkenal pada awal 1960an. Mereka warga belanda berkulit hitam, saya pikir mereka asal Ambon, entah dari bagian Indonesia mana. Saya bersebelahan meja di Restaurant Indonesia Raya di Tokyo pada awal 1960an. Saya dengar mereka pesan makanan dengan menyebutkan :”Gado Twee” dengan lafal huruf g seperti orang mengucapkan goede morgen dalam berbahasa belanda. Di telinga saya terdengar seperti bunyi gerit ban mobil di permukaan aspal, karena rem berhenti mendadak!! Bilang gado-gado saja sudah tidak bisa, bagaimana dia bisa masih kangen sama keIndonesiaan nya dan datang beberapa kali lagi, sampai salah satu dari The Blue Diamonds tadi sudah meninggal dan tinggal seorang diri, masih saya lihat menyanyi di salah satu kafe di Kemang Jakarta pada tahun 2006. Marilah kita ikut berupaya agar kita tidak menjadi orang asing dirumah kita sendiri, dilingkungan kampung kita dan didalam desa atau di kota kita sendiri. Berapa ratus bahasa dialek di seluruh Indonesia? Dua ratus, tiga ratus? Saya tidak tau. Bahasa yang digunakan di televisi, terutama cerita Sinetronnya bukan berbahasa Indonesia yang BINAR, tetapi menggunakan bahasa Betawi. Jumlah bahasa-bahasa di dunia ini ada sekitar 6000 bahasa jumlahnya, dan menurut catatan musnah sekitar sepuluh bahasa pada setiap tahunnya. Apakah kita rela kalau bahasa Indonesia mengalami kemusnahan karena kita sendiri lebih menyukai bahasa asing? Ayah saya pernah mengatakan bahwa bangsa itu bisa disebut bangsa kalau mempunyai bahasa, mempunyai huruf dan mempunyai penanggalan (kalender). Seperti halnya dalam jaman orde baru, banyak petinggi militer maupun sipil yang mengumbar bahasa Jawa pada waktu rapat-rapat dinas dan resmi di mana-mana, bahkan mungkin di tingkat tinggi di dalam kalangan pemerintahan kita waktu itu. Itu menyedihkan.
Sudah lupa ya, Sumpah Pemuda??
Anwari Doel Arnowo
Minggu, 19 Oktober 2008 - 13:05:06
---ooo000ooo---
http://www.detiknews.com/read/2008/10/23/155935/1024933/10/mahasiswi-china-kritik-wong-jowo
23 Oktober 2008
Mahasiswi
Anwar Khumaini
Pertanyaan itu diajukan seorang mahasiswi
"Pak, saya pernah belajar Kromo Hinggil di UGM, dados kulo saget boso Jawi. Tapi yang membuat saya heran, justru di Yogyakarta sendiri warganya jarang yang bisa bahasa Jawa halus, terutama anak mudanya," tanya dia.
Pserta kuliah yang bisa berbahasa
Sedangkan ratusan mahasiswa lainnya yang tidak paham bahasa
Presiden SBY juga tidak bisa menahan senyum atas pertanyaan mahasiswi
(anw/lh)
No comments:
Post a Comment