Saturday, July 31, 2010

ORANG TERTUA DI DUNIA



Anwari Doel Arnowo – 31/07/2010
Tertua sampai 122 Tahun

Saya akan mencapai umur berapa tahun? Oleh karena semua orang di sekeliling saya, yang pegawai negeri atau yang pengsaha atau rakyat biasa, semuanya sudah pasti tidak bisa menjawabnya, maka biasanya kita ini akan membiarkan pertanyaan di atas tidak terjawab saja.
Lalu apa yang akan didiskusikan di sini?
Pokok pembicaraannya adalah masalah orang yang sudah tua.
Di Indonesia yang mempnyai adat yang seperti biasanya mengenai orang tua pada umumnya seperti halnya juga rata-rata di negara-negara di Asia, akan bertempat tinggal dan hidup bersama dengan anaknya atau salah satu dari anak-anaknya sebagai orang tuanya, sampai masa senja usia.
Bagaimana dengan bangsa dan negara lain yang tidak memiliki anutan atau ikutan adat yang seperti ini? Mereka sudah menerima kebiasaan bahwa yang disebut dengan keluarga itu hanya terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak mereka. Anak-anak mereka ini bisa anak kandung atau anak tiri bahkan anak pungut. Hanya itulah pengertian arti kata keluarga yang utuh bagi mereka.
Memang, bagi orang-orang Asia, hal seperti itu adalah praktik yang terasa kurang masuk di akal, bila  para kakek dan nenek itu hidup sendiri di tempat tinggal lain, baik berupa rumah pribadi, atau rumah pemeliharaan khusus untuk orang-orang tua yang sudah tidak mampu untuk bertempat tinggal sendiri dengan mandiri. Biasanya perasaannya akan tidak nyaman melihat yang seperti itu. Maka bagi orang dari kalangan penduduk di negara Indonesia, adalah bukan persoalan seperti halnya  sekarang ini yang  belum adanya Undang-Undang yang membantu dan melindungi para orang tua yang seperti telah disebutkan di atas. Akan tetapi di negara-negara maju dan modern serta yang sudah sejahtera, praktik memelihara orang tua seperti “semestinya” dilakukan di Asia pada umumnya itu, telah diambil alih oleh Negara melalui pemerintahnya dan dilaksanakan dengan mengacu kepada Undang-Undang khusus mengenai hal itu. Ada yang mengatur berapa diberikan dalam bentuk uang dan ada yang bisa diberikan dalam bentuk in natura sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain in natura masih banyak kemudahan-kemudahan dalam bentuk lain, yaitu misalnya rabat atas harga barang maupun jasa, seperti harga ongkos angkutan yang diberi rabat sampai lima puluh persen dari harga biasa. Hal-hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan sejak berpuluh tahun yang lalu, sehingga bukan barang yang aneh di masyarakat.
Dengan adanya pengambil-alihan oleh pemerintah seperti itu, maka para anggora “keluarga” tidak merasa khawatir lagi terhadap nasib dan kehidupan orang tua mereka, atau memandangnya sebagai persoalan besar. Para orang tuapun juga sudah sejak masih muda, keinginannya adalah agar bisa menempuh kehidupan mereka dengan menyendiri, sesuai dengan gaya hidup dan pola orang yang sudah mencapai tahap tua. Titik.
Sakit?
Ya, diserahkan kepada dokter serta paramedik yang mumpuni dengan keahliannya masing-masing!! Lalu bagaimana dengan masalah pembiayaan?? Ternyata tidak semuanya menjadi masalah seperti di Indonesia. Para orang tua – Lanjut Usia, yang telah merasa membayar pajak dengan teratur, saat ini sama sekali tidak menikmati imbalan yan pantas sebagai Pembayar pajak. Hal ini sungguh amat berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh para Lanjut Usia di negeri-negeri yang lain yang sudah ada Undang-Undangnya dan ada peraturannya yang mengayomi mereka. Ada sistem yang jelas dengan tata cara asuransi, ada sistim bantuan Pemerintah, tetapi dalam hal misal para orang tua yang sakit itu bisa membiayai sendiri, dengan summber keuangan sendiri, maka hal itu boleh-boleh saja, tiada larangan. Ada banyak pilihan untuk fasilitas yang dikehendaki dan disukai.
Jadi perbedaan yang mencolok adalah dalam penerapan adat dan kebiasaan serta Undang-undang dan peraturan yang berlaku di situ.
Saya tidak tau apakah ada data yang bisa didapat yang mendekati akurasi baik di Indoneia mengenai berapa jumlah manusia usia lanjut yang telah mencapai usia 100 tahun ke atas?
Di Indonesia masih banyak orang tua yang lebih senior dari saya, yang menyebutkan tanggal lahirnya dengan waktu terbitnya uang segobang pada jaman penjajahan belanda dulu, atau dengan Gunung meletus, semua tanpa tanggal yang jelas. Sayapun belum pernah melihat Akta Kelahiran ayah dan ibu saya, bahkan yang milik saya sendiripun. Saya dibuatkan salinan Akta Lahir yang diterbitkan waktu tahun 1951, ketika saya sudah berumur 13 tahun oleh Kotamadya Soerabaia. Sekarang ada di mana disimpannya asli salinan Akta itupun saya sudah lupa.
Sekedar tambahan agar kita bisa mengetaui jawaban terhadap pertanyaan di atas mengenai orang tua usia 100 tahun ke atas, demi untuk dipakai sebagai referensi, yang ada di negara Amerika Serikat, silakan membuka link:


BERIKUT INI ADALAH TERJEMAHAN OTOMATIS OLEH MESIN GOOGLE TERHADAP ISI DARI LINK DIATAS, YANG MUTUNYA MEMERLUKAN PERBAIKAN DI BANYAK BAGIAN. SAYA BANTU SEBISA SAYA AGAR DAPAT DIPAHAMI, KARENA DI SANA SINI MASIH AGAK TERASA JANGGAL.

  • Si Ahli ANGKA
  • 24 JULI 2010
Para ilmuwan Berusaha untuk melakukan tabulasi Misteri dari Para Lanjut Usia
  • Dengan BIALIK CARL
Columnist's name
  • smaller
Ketika Robert Young masih kecil, dia berharap agar dia berhasil untuk mengenal orang tua dalam hidupnya sebelum mereka meninggal. "Aku ingin bertemu dengan mereka dan tinggal di sekitar mereka terlebih dahulu, karena mereka akan meninggal lebih awal," kenang Mr Young. Orang-orang muda, dia akan bisa saya kenali kemudian.
Sekarang kecenderungan masa kecil Mr Young itu telah membantunya  menjadi ahli dalam profesi yang digelutinya, sebagai seorang gerontologist yang menelusuri perihal orang-orang tertua di dunia untuk berbagai kelompok penelitian.

Getty Images
Walter Breuning, Orang Tertua di Duia pada perayaan ulang tahun 113th pada bulan September di Great Falls, Mont.
NUMGUY
NUMGUYPekerjaan-Nya dan  peneliti lain telah membantu untuk membuat cabang baru demografi: Statistik tentang para orang yang lanjut usia (agers) terbaik di dunia. Meskipun halangan (snags) utama bertahan dalam studi seperti kelompok orang langka, itu telah menghasilkan angka menarik tentang bagaimana langkanya hidup sampai 110-dan bagaimana mungkin orang-orang bisa mampu sampai di masa itu yang mencapai 111, atau di lebih.
Sebagian besar mereka yang bekerja di bidang tersebut telah berkembang menjadi daya tarik publik dengan peringkat dari semua jenis. Oleh Guinness World Records telah bisa  dilacak keberadaannya orang tertua di dunia sejak 1955. Dua dekade lalu, peneliti tertarik membentuk daftar mereka sendiri bergabung bersama Penelitian Gerontologia berbasis Group di Los Angeles, yang mem-verifikasi klaim usia ekstrim di seluruh dunia melalui akte kelahiran dan ID foto. Sekarang Mr Young bekerja untuk Guinness sebagai konsultan kepala untuk memeriksa klaim tersebut, dan juga mem-verifikasi klaim untuk GRG.
Blog Angka Guy  
Diantara temuan: Tidak nyaman memiliki kepala yang bermahkota sebagai orang tertua di dunia. Sejak Jeanne Calment meninggal pada usia 122 tahun 1997, sebagai orang tertua yang memenuhi standar Guinness's, gelar itu telah berganti-ganti lebih dari 17 kali lebih, dengan tidak ada satupun yang mencapai usia 120 dan hanya satu orang mencapai usia 118. Orang tertua di dunia yang di-verifikasi hari ini, Eugenie Blanchard di wilayah Prancis di Saint-Barthélemy, berusia 114 tahun pada bulan Februari.
Mungkin ada orang yang lebih tua. Sekitar 800 juta orang, atau kurang dari seperdelapan dari populasi dunia, tinggal di tempat-tempat yang, pada pergantian abad terakhir, memiliki catatan kelahiran cukup handal untuk bisa dipercaya, menurut Mr Young. Itu berarti jumlah sebenarnya dari supercentenarians (Para yang berusia lebih dari 100 tahun), atau orang yang setidaknya berumur 110 tahun, bisa sedikitnya delapan kali lebih besar dari 75 perempuan dan tiga laki-laki dihitung oleh GRG.
Berkat kemajuan dalam perawatan usia lanjut, jumlah centenarians meningkat cepat-sebesar 32% dalam lima tahun terakhir di AS, menurut perkiraan Biro Sensus yang dilakukan pada tanggal 21 Juli yang lalu.
[NUMGUY]
Tetapi beberapa peneliti juga telah menemukan putusan yang mengejutkan bahwasanya  ada kecenderungan dan penurunan jumlah orang yang hidup sampai 110. Jumlah supercentenarians di seluruh dunia dilacak oleh GRG secara merata selama dekade terakhir. "Jika jumlah centenarians meningkat secara eksponensial, jumlah supercentenarians harus juga," kata GRG pendiri Stephen L. Coles. "Tapi itu tidak terjadi."
Namun, data akumulasi mulai memecahkan beberapa misteri tentang usia tua.
Salah satu bidang penelitian penting adalah kematian. Sejak 1825, oleh para aktuaris telah diketahui bahwa tingkat kematian meningkat secara eksponensial dengan usia, lebih atau kurang, tidak menghitung perbedaan jender atau faktor-faktor risiko seperti obesitas atau merokok. Sebagai contoh, pada tahun 2007, tahun terakhir angka kematian di AS karena  usia sudah tersedia, kemungkinan mati dua kali lipat setiap sekitar sembilan seperempat tahun. Di antara mereka yang berusia 52 tahun, 50 dari 10.000 orang meninggal. Tingkat kematian di antara mereka yang berusia 61 tahun adalah 101 dari 10.000.
Yang terkenal dengan Hukum Gompertz ini disebut Undang-undang yang dikembangkan pada 1825 oleh matematikawan Inggris Benjamin Gompertz, berlaku sampai sekitar usia 70 atau 75, kata Sam Gutterman, direktur dan konsultan aktuaris yang bekerja di PricewaterhouseCoopers LLP. Setelah itu, angka kematian terus meningkat, tetapi lebih secara bertahap. "Kelompok penduduk yang selamat cenderung lebih kuat dari kelompok mereka yang telah almarhum," kata Jutta Gampe, kepala laboratorium statistik demografi di Institut Max Planck untuk Riset Demografis di Rostock, Jerman.
Itu tidak berarti para yang masih hidup paling akhir mungkin tetap masih hidup. Tapi itu tidak berarti bahwa angka kematian meningkat perlahan-lahan pada usia lebih dari 100.
Lebih Bilangan Guy

More Numbers Guy

·         Mixed Signals on Cellphones

Di Italia dan Prancis, perempuan berusia 100 tahun telah mendapat kesempatan dua-pertiga usia mencapai 101, menurut database bertempat di Institut Max Planck. Pada usia 105, kesempatan mereka untuk mencapai 106 hanya di bawah 60%. Tingkat ketahanan hidup adalah sekitar 50% pada usia 110,, 111 112 dan 113, menurut catatan GRG's. Kemudian, tiba-tiba, mereka turun menjadi 30% pada 114 dan 115-zaman di mana sebagian besar orang tertua di dunia telah meninggal dalam sepuluh tahun terakhir.
Sains harus turun tangan untuk bisa menjawab apa yang tidak mampu dilakukan oleh statistik.Memang belum cukup diverifikasi bahwa usia 114 tahun bisa dipakai sebagai untuk batasan angka ajaib yang menandai sebagai bilangan penghalang biologis untuk bertahan hidup terus. Mungkin karena lebih banyak orang dengan catatan kelahiran yang lebih baik terhindar dari kecelakaan, kelemahan gaya hidup dan penyakit yang datang terhadap rekan mereka untuk mencapai usia tiga digit, kolam yang lebih besar akan menghasilkan supercentenarians lebih banyak dari mereka yang akan selamat dari lontaran  koin eksistensial tahunan bagi yaitu hidup setelah 110 .
"Para supercentenarians adalah creme de la creme," kata Thomas Perls, direktur studi New England Supercentenarian, yang telah mendaftar catatan 108 supercentenarians sejak tahun  1997. "Itu sebabnya aku belajar mereka."

Terjemahan mesin google di atas telah saya perbaiki dengan susah payah agar bisa nyaman dimengerti, semampu saya – Anwari 31 Jul;i, 2010


31 Juli, 2010
Anwari Doel Arnowo
anwaridarnowo@gmail.com 
Toronto - Canada

Thursday, July 29, 2010

BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA

Ini di koran Kompas
Menyedihkan memang, yang membaca hari ini ada 18 orang dan yang memberi komentar ada nol orang.


Media Belum Populerkan Bahasa Indonesia
Jumat, 30 Juli 2010 | 02:48 WIB
KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS.COM
Ilustrasi: Di SMK, ada 897 siswa yang harus mengulang UN, karena nilai bahasa Indonesia mereka jeblok. Total siswa yang mengulang UN mencapai 1.297 orang.
JAKARTA, KOMPAS.com--Media massa dinilai belum mempopulerkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar karena kecenderungan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa daerah.
"Ini menjadi tantangan bagi media massa, karena masih cenderung menggunakan bahasa Inggris dan bahasa daerah dalam pemberitaannya," kata Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa (FBMM) TD Asmadi di Jakarta, Kamis.
TD Asmadi menyampaikan hal itu pada diskusi bahasa jurnalistik media massa bertema "Mendorong Media Massa Memahami Bahasa Indonesia Lebih Baik".
Diskusi tersebut berlangsung atas kerjasama Perum LKBN ANTARA dengan FBMM yang dihadiri sejumlah wartawan, redaktur dan pegelola media massa.
Ia menjelaskan, kecenderungan menggunakan bahasa asing dan bahasa daerah kerap ditemui pada media cetak, bahkan dalam pergaulan sehari-hari bahasa-bahasa asing lebih dikenal oleh masyarakat.
Hal tersebut terjadi, menurut Asmadi, karena pengaruh global dimana dua per tiga masyarakat dunia mengerti bahasa  Inggris. "Karena pengaruh global tersebut masyarakat di pelosok juga lebih populer memakai bahasa asing seperti ’print’ dari pada cetak," katanya.
Sementara pada media di daerah, lokalitas masih sangat tinggi sehingga muncul bahasa-bahasa daerah dalam penulisan berita misalnya "geruduk" yang dimaksudkan mendatangi beramai-ramai.
Ketidaktepatan kata juga masih muncul dalam penulisan jurnalistik misalnya nakhoda ditulis dengan nahkoda, mafhum ditulis mahfum atau harfiah dengan harafiah.
Kalimat yang dipakai juga dibuat tidak sederhana sehingga menyulitkan pembaca karena bermakna ganda dan juga bisa berarti lain.
Pakar Bahasa Indonesia, Anton M Moeliono dalam diskusi tersebut mengatakan, budaya tulis dan membaca di Indonesia masih rendah.
Menurut Anton, keterbatasan budaya tulis dan baca itu membuat masyarakat Indonesia terbagi atas kelompok ragam bahasa dasar dan ragam bahasa formal.
Ragam bahasa dasar diperoleh di rumah dan lewat pergaulan, sedangkan ragam bahasa resmi dipakai dalam administrasi pemerintahan, ragam dimuka umum seperti media massa, ragam dunia iptek dan seni sastra.
"Rendahnya pendidikan juga menjadi suatu panggilan bagi media menjadi guru masyarakat. Maka media harus menyajikan tulisan dengan kaidah bahasa yang teratur," katanya.
Ia menegaskan, bahasa yang kaidahnya teratur dan mantap lebih mudah dipelajari dan dipertahankan sehingga media massa harus jadi teladan dan panutan dalam penerapan norma dan kaidah itu.
Hal senada disampaikan Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA, Saiful Hadi bahwa bahasa media massa harus dimengerti oleh pembaca.
"Untuk apa tulisan yang hebat tapi hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang, lebih baik gunakan bahasa yang mudah dipahami," kata Saiful Hadi.

Tuesday, July 20, 2010

KOPI KOPI KOPI




MY EXPERIENCE:
I am a regular coffee drinker the last three years.
On July 10, 2010 I had a thermos full, and that is twice my regular and ritual coffee drinking habit that I had been doing
On July 11, 2010, I had uncomfortable feelings for three days in a row. I had headache, heart throbbing and pain in the back bone like a bit movement will trigger terrible pains here and there at my back, upper and lower. Well I had one pain killer a day, all ceased and I had my “wisdom”: drink beer that I tried and had been avoiding for the last whole one month. The beer drinking happened three days ago. But my coffee drinking in the morning, I keep on doing recklessly, due to the easy availability surrounding me at that time.
This Morning, three hours ago, I made it happen again with my ritual: drink one cup of  Nescafe Encore with Coffee Mate and white sugar. I sat in the verandah on a plastic covered chair and felt heavy breathing and my heart was thumping like I was running jogging, but I was on a sitting position reading Newspaper. My seat felt like moving up and down as if a small Earth tremor was happening. I asked my wife to overtake the seat, and asked if she did feel anything unusual. She said no, nothing at all. I finished my coffee. What amazed me greatly was the fact that I began burping a lot, more than one hundred times. This is similar or like a volcano erupting the smokes and dirt.. for almost an hour or so. Now I am okay, nothing is bothering anymore.
I open my computer and some emails, replied some too, and I found this, the one below. After reading it, I will now drink my ritual morning coffee, but BLACK COFFEE ONLY , no sugar and no coffee mate, and only  two cups a day.
Stay with me and remind me if I forget in the future, being older and forgetful.
Anwari Doel Arnowo –  Toronto, July 20, 2010
How Coffee Affects Blood Sugar
Coffee.
It’s more than just a beverage.
We use coffee to revive ourselves in the morning, to keep us energized by day, and to wind down as we eat our evening dessert. It is a ritual, a tonic, and a statement of friendship. When your neighbor pops by unexpectedly, what do you offer her? A cup of coffee.

More than 50 percent of Americans drink coffee every single day. And of those coffee drinkers, the average is between 3 and 4 cups a day. That’s over 1,200 cups of coffee per year. If you’re drinking over a thousand cups of something every year, shouldn’t you know if it’s good—or bad—for you? Well, the answer to that really all depends on how you take your coffee.

Here’s the short answer: 
Coffee itself is terrific for you. 
It’s caffeine and additives that make things go awry. Best choice for your health: a cup of black, uncaffeinated coffee.

So what’s wrong with caffeine, beyond it sometimes causing the jitters? Research reveals that consuming about 250 milligrams of caffeine—the amount in roughly two cups—triggers a small but measurable increase in blood sugar, particularly after meals. It’s not necessarily a dangerous spike, but for people struggling with blood sugar issues, why consume something that could hurt your efforts?

The answer might be that coffee has many other benefits. For example, 
coffee is the number one source of antioxidants in the American diet—surpassing any fruit, berry, or vegetable by a landslide. (Many types of produce have more antioxidants in them than coffee, but generally we consume way more coffee than any one source of produce). All those antioxidants have been known to protect the liver and colon, and to ward off Parkinson’s and Alzheimer’s disease.

Plus,
other ingredients in coffee are diabetes-friendly. Coffee contains a long list of natural plant compounds, called chlorogenic acids which help to bring down blood-glucose levels. It’s also rich in quinides, compounds that make the body more resistant to insulin. Numerous studies have proven that coffee lowers the risk of type 2 diabetes. In fact, the more cups of coffee you drink per day, the lower your risk. Drink one cup and it lowers your risk 13 percent, drink two cups and that number shoots up to 32 percent!

If all that makes you inclined to keep drinking coffee, we understand. To mitigate the blood-sugar effects of caffeine, spread your coffee drinking out over time, or as we said,
switch to decaf.

As with most naturally good-for-you foods, what you put in—and on—your mug of coffee determines if it will be blood-sugar friend or foe. When you add lots of cream, whole milk, sugar or flavored syrup, you have turned your coffee into the equivalent of a slice of cake—a high-calorie, high-fat dessert. In fact, a fancy coffee drink with whipped cream at Starbucks often exceeds 500 calories—amazing, when you remember that the coffee itself has no calories.

Can’t drink your coffee black? Use nonfat milk or nonfat half and half, especially in milk-heavy drinks like lattes and cappuccinos, and avoid flavored syrups and sugar all together. Do that, and coffee can be your good friend for life.

Hoping this article will be useful for every one.
Analyse yourself accordingly to your own self lifestyle, not necessarily similar to mine.
Anwari Doel Arnowo – 2010/07/20


There is a comment came in just now, for CD (Cak Doel), which is my nickname in a certain group:


Dear CD,

Thanks so much for the 'enlightenment' -- now perhaps I might understand why sometimes I have hypoglycemic symptoms - only occasionally - and I knew I wasn't diabetic.  Although I've been drinking decaffeinated coffee most of the time, occasionally I would have regular (I call it 'full lead') coffee - but I never made the connection between coffee and blood sugar level.
The reason I switched to decaffeinated about 30 years ago was because all of a sudden I developed allergy towards caffeine.
I was working for Aramco Services at the time and we always had coffee as soon as we got to the office, around 8 to 9.  Then we had to change buildings.  While in the new building, temporarily, the coffee had to be serve on a cart, by someone, going around office to office.  I think it was because they didn't have the kitchen finished yet, and the coffee had to be delivered by a company.  The coffee cart would get to my office around 9.  After starting in this new office, about 2 weeks later, I started to itch all over my body, and would get worse, in the form of welts ('biduren'), until about lunch time.  I went to the doctor, and he advised me to write down everything I ate and drank.  Nothing changed in my diet that I knew of.  Until one day, my boss told me that the same thing happened to his wife one time, and as it turned out it was caffeine.  And I said 'I've been drinking coffee for years' - but apparently, allergies can develop anytime in your life. So I stopped drinking office coffee, started to carry my own in a thermos which is decaffeinated.  The itches stopped.
2 years later, I thought maybe I'd gotten over it, we were on a trip to New Orleans.  Well of course I wanted French Coffee.  I did that one day and the next day I was covered by welts all over my body.  Nope, not over it!
Now I can occasionally drink it.  I can drink regular soda once a day without itching.
However, if I drank non-decaf regularly, although I won't have the itches, my heart would be thumping really hard.  Just like CD described.  
One period it scared me that my heart thumped so hard, I made an appointment with the doctor.  
Then I thought about what I might have eaten or drank that was different.  I then discovered that the coffee beans I had in the jar, which I ground everyday, were not decaffeinated.  
I stopped drinking it.  By the time I went to the doctor 3 days later, the symptom had disappeared.  Meanwhile the doctor had ordered an EKG done, everything was normal.  So when I told him that I may have been too sensitive to caffeine, he said 'there, you cured yourself'.
I do take my decaf coffee every morning with sugar-substitute and half-and-half (not milk but not cream either), although no more than 1 tablespoon of half-and-half.  I do not like Latte because I do not like milk.  And I don't frequent Starbucks for their creamy drinks after I found out that they may contain 1500 calories in a cup - besides, the 'foam' they use are high in fat - and most of all, they are such a 'rip off' -- $5.00 for a cup of coffee that I could make at home for maybe 50 cents.

Thanks for the 'lesson for the day' Cak Doel!