Sunday, October 25, 2009


Apa dan Apa

Anwari Doel Arnowo – 24 Oktober, 2009

Apa yang saya dapat setelah mencapai 70 plus ?

Rasanya lumayan banyak juga sih, sehingga mungkin saja saya tidak akan mampu untuk menuliskan semuanya.

Sejak waktu yang lama, saya sudah membuat pertanyaan yang dasar: Untuk apa sebenarnya manusia hidup, apa tujuannya dan akan ke mana setelah ‘saya’ mati ? Saya dalam tanda kutip memang ditulis dengan sengaja, karena ‘saya’ dengan saya, sudah tidak sama. Saya masih lengkap dengan tubuh dan kelengkapannya, sedang ‘saya’ tidak bisa saya gambarkan kepada pembaca, karena saya yang lengkap dengan tubuh dan kelengkapannya, telah berganti menjadi ‘saya’ yang tanpa tubuh, apalagi kelengkapannya.

Memang mereka yang mendalami dunia lain dari dunia nyata, atau alam lain setelah kehidupan, dengan cepat menunjukkan istilah yang lazim dipakai : nyawa, sukma atau ruh dan lain-lain istilah semacam. Tetapi dalam dunia kedokteran hal ini belum dikenal oleh saya, apa istilah medisnya. Untuk ini saya sudah pernah melayangkan pertanyaan ke Ask Yahoo : Apakah dalam istilah medisnya, yang meninggalkan tubuh manusia setelah tubuh itu tidak dapat lagi melakukan fungsinya seperti sebelumnya ? Karena pertanyaannya saya ajukan di dalam bahasa Inggris, kebanyakan jawaban yang saya terima dari mereka adalah yang menggunakan bahasa Inggris. Ada lima jawaban yang mereka ini adalah dokter-dokter dan saya pilih yang paling mendekati seperti apa yang saya pikirkan sendiri sebelumnya.

Jawabannya adalah: «There is no medical term for your question». Saya teruskan pengembaraan jalan pikir yang ada di kepala saya.

*Iya, kita semua paham apa yang telah dimaksud, akan tetapi saya menggunakan dimensi waktu seperti berikut*.

Sekarang, tahun 2009, memang sebatas itulah pengetauan manusia. Tetapi bukankah di dunia ini semuanya berubah dan itu termasuk pengetauan manusia, akal manusia dan juga kebudayaan serta mindsetnya juga. Kembali ke dimensi waktu: bukankah cerdik cendekia pada seribu tahun yang lalu mungkin saja amat terbatas pengetauannya, tidak bisa melawan apa yang diketaui seorang dewasa muda, semuda yang berumur 25 tahun yang hidup saat ini, tahun 2009?? Saat ini, tahun 2009, bukankah sudah ada lembaga-lembaga research yang penuh dengan informasi yang amat mutakhir menggunakan alat-alat canggih yang belum terpikirkan meskipun sejak seratusan tahun yang telah lalu?

Dengan demikian data apapun yang telah dijejalkan ke dalam otak saya ini, selama ini, yang saya terima baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, patut disesuaikan dengan pola dan jenis semua pembaruan pengetauan yang ada, karena adanya perubahan pengetauan yang berkelanjutan itu. Waktu saya lahir dahulu pada tahun 1938, pengetauan manusia mengenai biologi masih amat terbatas. Manusia bisa saja mati, tetapi semua orang yang hidup waktu itu hanya menerima nasib atas meninggalnya si mati tadi. Seorang yang muda seperti Oom saya yang meninggal pada usia 37, tidak pernah ada yang melakukan elaborasi sebab yang lebih mendalam. Nenek saya kalau ditanya, jawabnya juga tidak tau dan tidak ada keinginan untuk tau. Tetapi sekarang orang akan membicarakan gagal jantung, gagal ginjal dan lain-lain yang menyebabkan hal yang mendasar bagi manusia, yaitu gagal hidup seterusnya.

Apa selanjutnya?

Masa depan??

Iya benar, masa depan!

Karena saat ini kita belum bisa mendefinisikan secara medis: apa itu yang disebut nyawa, sukma dan ruh, hal ini tidak membuat manusia bisa dikatakan sebagai manusia yang “bodoh” oleh anak cucu serta cicit kita yang hidup pada era dua ratus tahun sejak sekarang, misalnya pada tahun 2209?

Kita misalkan saja pada tahun 2209 sudah bisa diterangkan apa yang disebut dengan nyawa, sukma atau ruh itu secara medis.

Saya juga mulai ikut terbawa pendapat, oleh beberapa orang-orang yang menganut pendapat bahwa apa yang disebut Tuhan adalah sesuatu yang, pada saat ini tahun 2009, kita tidak mengerti. Tidak mampu menjangkau dengan pengetauan yang ada. Jadi dengan pengetahuan yang dimisalkan sudah jelas: apa itu yang disebut dengan nyawa, sukma atau ruh itu pada tahun 2209, apakah kita akan mengetaui dan mengerti apa itu Tuhan yang sebenarnya? Saya pikir bukan semudah itu. Apa yang dipercaya oleh semua agama, yang Islam menggunakan bahasa Arab dengan kata Allah, yang Kristen menggunakan Allah Bapa dan yang menggunakan Sang Hyang Widi, saya duga masih tetap akan menyembah Sang Pencipta Alam yang satu ini, yang selama ini kita kenal sebagai Tuhan. Bayangkan saja betapa besarnya alam itu. Yang disebut dengan Jagad Raya, Bima Sakti itu adalah sebuah kumpulan bintang planet dan benda-benda angkasa (ada 100 s/d 400 miliar atau 1 s/d 4 kali 10 pangkat 11 buah) yang amat luas cakupannya. Konon jarak kedua tepinya sampai sekitar 100.000 tahun cahaya. Berapa satu tahun cahaya itu jaraknya?

Ini kita dapat dari Wikipedia: Tahun cahaya (bahasa Inggris: light year) adalah satuan panjang yang didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya dalam satu tahun melewati ruang hampa udara. Istilah tahun yang digunakan untuk perhitungan adalah tahun Julian yang mempunyai 365,25 hari atau 31.557.600 detik. Kadang kala rata-rata tahun tropis 31.556.925,9747 detik digunakan. Karena cahaya menempuh kecepatan 299.792.458 meter per detik (meter per detik) dalam ruang hampa udara, menggunakan tahun Julian, maka satu tahun cahaya sama dengan 9.460.730.472.580.800 kilometer (5.878.625.373.184 mil).

Bila angka ini dikalikan 100.000 (panjangnya Bima Sakti) maka akan menghasilkan angka yang dimulai dengan 9.460 di belakangnya ada total jenderal: 9.460.460.730.472.580.800.000 dikalikan seratus lagi

Sebuah angka yang saya kehabisan kata karena diikuti oleh dua puluh satu buah angka di belakangnya (hanya untuk mengucapkannya) dengan satuan kilometer. Bagaimana kalau satuannya sentimeter?? Angka dalam kilometer akan menjadi 29 (duapuluh sembilan) angka (dalam sentimeter), karena 1 kilometer sama dengan 1 x 100.000 senti meter.

Upaya kita mendapatkan data seperti di atas adalah hanya ingin membuktikan bahwa kita ini hanya ibarat sebuah neutron di dalam sebuah atom, laksana sebuah titik kecil, malah kecilll sekali di jagad raya, di dalam Bima Sakti atau Galaxy yang juga dikenal dengan kata Milky Way. Dari gambaran di atas, maka saya berusaha menggambarkan Milky Way ini seperti kueh yang mendekati bentuk doughnut atau donat tetapi di dalamnya seperti spiral dengan bentuk yang tidak teratur. Ukurannya: panjang diameternya: 100.000 tahun cahaya, dan tebalnya 1000 tahun cahaya.

Tuhan di dalam benak saya ketika saya masih anak-anak dan Tuhan di dalam benak saya setelah menjadi kakek 71 tahun, sungguh berbeda kebesarannya. Mau pakai ukuran physic seperti kita pahami saat ini, baru 26 angka saja, saya sudah pusing tujuh keliling. Yang paling mengejutkan saya adalah: bahwa di alam ini ada miliaran, ya benar ada bermiliar-miliar, Bima Sakti atau Galaxi atau Milky Way. Sekarang anda akan setuju kan kalau apa yang kita sebut sebagai Tuhan itu Tuhan Yang Maha Besar, Allahu Akbar, God Almighty?

Di Planet Bumi ini, saat ini ada sekitar enam miliar manusia.

Kalau 70% dari mereka beragama dan mempercayai adanya kekuatan Illahi, sedang sisanya adalah kaum Atheis dan Agnostik, maka masih perlukah kita, manusia ini, membela, mempertahankan kebesaran Tuhan?

Untuk itu semua banyak yang mengambil sikap berpotensi konflik dengan sesama manusia yang memang berlainan sejak awal dan hidup bersama di Planet Bumi?

Mampukah kita membela Tuhan?

Si manusia yang seperti neutron itu?

Marilah kita terima kodrat kita masing-masing yang memang berlainan itu, lain physic nya dan lain pula daya dan pola berpikirnya atau mindsetnya. Apabila kita menghayati betapa kecilnya manusia, maka sudah seharusnya tidak ada satu orangpun yang boleh serta pantas bertindak apapun atas nama Tuhan.

Adalah perbuatan yang keblinger dan kurang patut kalau ada seseorang yang memaksakan kehendaknya kepada siapapun orang lain, yang menyangkut kepercayaan yang dianut, oleh siapapun, yang tidak sama dengan yang selama ini dipercayai olehnya.

Saya meyakini bahwa apa yang saya dapat di atas, adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa saya tuliskan pada tujuh tahun yang lalu. Saya yang saat ini masih lengkap dengan isi ‘saya’ di dalamnya, sudah lain, sudah menua, dan segera serta cepat bertindak menuliskan ini semua agar tidak terlupakan pada keesokan harinya.

Saya terkesan dengan sebagian isi email yang berisi kata-kata seorang manula yang umurnya sudah melebihi 90 tahun, bernama Regina Brett dari Cleveland, Ohio, Amerika Serikat: Life is too short to waste time hating anyone … Hidup itu terlalu singkat, menghabiskan waktu dengan membenci seseorang …

Anwari Doel Arnowo

24/10/2009 - 21:25:13

Wednesday, October 21, 2009

Prasangka - Prejudice


Created by Anwari Doel Arnowo 2005-06-26




Persaingan dalam segala bidang sudah lama bermula.

Sejak dari sejarah raja-raja pada jaman dahulu, kita dapat melihat bahwa diantara para hamba raja maupun antara para raja-raja sendiri juga terjadi persaingan sehat maupun tidak sehat.

Dalam jaman sekarangpun semua tahu bahwa persaingan yang tidak sehatpun sudah makin tajam dan canggih dilakukan orang. Waktu saya masih muda, saya pernah merasakan antagonisme dengan ajaran seorang manager sales, yang mengatakan bahwa: ** apabila kita menjual produk A, maka adalah tidak etis bila menjelekkan produk B yang merupakan produk saingannya. Memuji produk A yang dijualnya dengan pujian yang setinggi langitpun, tidak ada larangannya. Akan tetapi jangan sekali-kali menjelekkan produk B dan produk lain **.

Tetapi ajaran baik tadi akan punah, apabila seseorang sudah mulai praktek di lapangan. Saya melihat sendiri tidak lagi relevantnya isi inti pelajaran sang manager tersebut, karena dia justru melakukan yang sebaliknya dengan apa yang diajarkannya sendiri.

Dia bisa dengan mudah menyabot order yang semestinya diperoleh oleh bawahannya sendiri. Itu kelemahan sang manager yang melakukan perbuatan yang antagonis dengan isi inti dari pelajaran menjual yang diajarkannya kepada para bawahannya. Jadi gugurlah apa yang disebut kode kehormatan yang diciptakan oleh manusia yang berkelas terhormat, hanya karena dikalahkan oleh ketamakan mendapatkan uang. Apa yang disebut sebagai code of conduct, code of honour, code of ethics dikalangan perwira Angkatan Perang, diantara para pelaku usaha dan media, malah menjadi hancur lebur oleh karena silaunya pengaruh uang.


Juga karena pengaruhnya kedudukan atau kehormatan. Adakah cara mengatasinya?? Hampir tidak ada.

Kecualinya tentu saja ada, yaitu kita sendiri yang harus mampu mengontrol keinginan- keinginan diri kita masing-masing.


Kita ini hanya manusia biasa, berbuat kesalahan hampir semua orang bisa dan mudah melakukannya, akan tetapi upaya untuk memperbaikinya akan membutuhkan tekad besar, kemauan tinggi dan keberanian luar biasa. Apalagi dalam upaya ini ada unsur harus meminta maaf dan mengganti kerugian materi !! Saya yakin hanya sekitar sepuluh persen dari jumlah orang yang mau dan yang berhasil.



Dari pengalaman bisnis yang pernah melintas didepan saya di Indonesia juga terjadi persaingan diam-diam antara ras, agama dan golongan. Tidak terang-terangan tetapi amat kental terasa. Sebut saja misalnya: ras satu dan ras tertentu lainnya kalau terpaksa berdagang, maka akan pasang kuda-kuda yang lebih teliti dan lebih awas. Ini dengan mudah dapat dilihat prakteknya di Indonesia.


Yang saya tulis ini adalah sedikit dari yang saya alami sendiri di Indonesia, di Kalimantan, semua Propinsi, dan di Indonesia Timur lainnya. Tetapi tidak usah kita berkecil hati, karena ini juga terjadi secara International. Di Jepang ada sentiment negative vise versa antara orang Edo (orang Tokyo) dengan orang Osaka. Di Canada juga ada antara orang pebisnis Vancouver dan orang pebisnis dari Ontario terutama orang Toronto dan sebaliknya. Iri dan sikap tidak fair dan sikap prejudice ditunjukkan antara orang-orang dan pihak-pihak yang disebut diatas. Iri dan sikap negative ini sebenarnya adalah seperti kata orang Betawi: memang udah dari sononya !


Karena dunia ini penuh dengan perbedaan physic dan perbedaan non physic maka sebaiknya kita ini menekan dan mengurangi perbedaan ini karena toh akhirnya akan merugikan diri sendiri saja.


Bagaimanapun rasa tidak suka itu adalah sebuah beban yang harus ditanggung oleh barang siapapun yang mempunyai rasa tidak suka terhadap sesuatu tersebut.

Kalau menginginkan keberhasilan dalam usaha, hubungan sosial dan pergaulan, maka sebaiknya dikurangilah perasaan yang negative-negative diatas karena hanya unsur-unsur itulah yang justru menghambatnya.

Dalam berhubungan sosial dan usaha, maka perasaan negative kadang-kadang dapat menolong, kalau pihak lawan itu memang benar-benar pernah melukai atau berbuat tidak benar terhadap kita. Untuk selanjutnya hanya unsur-unsur kehatian-hatian sajalah yang akan dapat menghindarkan diri kita dari kesalahan yang akan datang.


Ada pelajaran yang amat berharga dari beberapa kejadian yang patut disimak oleh kita semua.


Pertama: Saya ingat salah satu pidato Presiden Sukarno mengatakan **bahwa kita tidak usah takut menghadapi musuh yang terdiri dari negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris. Contohnya mereka ini menggencet dan menekan dengan kuat Republik Rakyat Cina dan kita. Saya sitir pemikiran seorang bijak yang mengatakan bahwa kalau seseorang ditekan (istilahnya BOGGED DOWN) terus menerus dan dimusuhi, dia bukannya menjadi lemah, akan tetapi malah menjadi makin kuat**. Hari ini, tahun 2005, telah terbukti bahwa Republik Rakyat Cina telah menjadi Negara kuat sehingga pertumbuhan ekonominya membuat gentar hati Amerika. Bukankah hal serupa dilakukan oleh Orde baru terhadap komunisme dan Republik Rakyat Cina ??

Kedua: Hal seperti ini terjadi terhadap Republik Cuba. Apa Presiden Fidel Castro tumbang ?? Tidak !! Dia sampai hari ini adalah incumbent President yang paling lama dalam sejarah, mengalahkan, Joseph Bros Tito dari Yogoslavia, Sukarno bahkan Suharto sekalipun dalam rekor panjangnya masa memerintah sebagai Presiden. Selama hampir empat puluh tahun lamanya Cuba di embargo oleh Amerika Serikat. Cuba tetap survive.

Ketiga : Sekali lagi masih mengenai Bung Karno.

Mengapa beliau mengibarkan bendera “perang” terhadap pendudukan belanda di Irian Barat ? Mengibarkan berndera perang kan berarti menerbitkan kebencian? Saya menduga, jadi ini bukanlah praduga, Bung Karno sudah kerepotan dengan segala macam perberontakan didalam negeri. Bung Karno adalah manusia Indonesia yang gandrung dengan persatuan. Sedangkan pemberontakan-pemberontakan yang ada mengakibatkan banyak masalah negative.

Sesuai dengan sifat bangsa dimanapun termasuk Indonesia, apabila suatu bangsa menghadapi common enemy atau musuh bersama, maka bangsa akan bersatu padu. Bersatu padu untuk melawan musuh bersama. Kita ingat beberapa pemberontak didalam negeri waktu itu menyerahkan diri dan mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam upaya membebaskan Irian Barat. Karena itu alangkah baiknya kalau kita pergunakan tactic ini untuk situasi Indonesia masa sekarang ini.



Carikan bangsa Indonesia ini musuh bersama. Kali ini musuh bersamanya tidak perlu berupa Negara lain, seperti halnya belanda di Irian Barat. Musuh bersama kali ini bisa :

  • kebodohan dilawan dengan pendidikan dan pengajaran

  • korupsi bisa dilawan dengan memberi insentive kepada para petugas atau rakyat yang dapat membuat perbuatan korupsi terungkap dan ditindak

  • kemelaratan diperangi dengan mendidik dan bekerja keras yang menghasilkan agar rakyat lebih makmur.

Jadi terbukti tidak ada gunanya kita memelihara ketidaksukaan dan kebencian apalagi memusuhi sesuatu dengan ekstrim. Secukupnya sajalah.

Saya sendiri benci kepada belanda, tetapi tidak kepada rakyatnya.

Saya benci kepada Pemerintahnya karena tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus 1945, dan hanya mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember, 1949 yakni pada waktu itu belanda menyerahkan kekuasaannya. Sejak Jepang bertekuk lutut sampai Desember 1949 itu belanda berperang di Indonesia dengan alasan aksi Polisionil. Istilah Aksi Polisionil digunakan oleh karena belanda hanya menganggap kaum pejuang dan para phalawan kemerdekaan kita tidak lebih dan tidak kurang sebagai terrorist atau perusuh saja layaknya.


Saya lebih benci lagi kepada Pemerintah Belanda karena sampai dengan pada tahun 2005 ini Belanda belum pernah minta maaf kepada Indonesia, karena telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Tidak sekalipun pernah minta maaf !!


Ini disebabkan mungkin sekali karena masih banyaknya manusia Indonesia sendiri yang masih silau terhadap kemajuan belanda, mungkin karena banyak duitnya dan atau masih bernostalgia (atau nostalgila) terhadap Tempo Doeloe ?? Manusia Indonesia yang bicaranya masih cas cis cus cas cis cus berbahasa Holland, Hollandsche Spreken. Verrrrrrrrekt, zeg !! Kata Gus Dur : PRĚĚKK !!

Saya juga bilang: Prěk !!

Sukar bagi saya memaafkan belanda karena dua hal besar diatas, tetapi saya sudah mengecilkan luas daerah kebencian saya hanya kepada Pemerintahnya saja. Ini dalam rangka memenuhi anjuran saya tersebut diatas. Kenyataannya : karena saya ini ternyata hanya manusia biasa saja, maka saya belum mau menginjakkan kaki saya di netherland sampai saat ini!!! Ah, Bung Karno sendiri juga belum pernah menginjakkan kakinya di belanda, kok !!!



Created by Anwari Doel Arnowo

---ooo000ooo---

1


Tuesday, October 20, 2009

Ini senada dengan tulisan saya berjudul Gelar beberapa tahun lalu

Gelar Sarjana

Anwari Doel Anowo - 20 Februari, 2005

Pada jaman dahulu kala, jaman penjajahan Belanda di Tanah Air kita Indonesia, yang oleh banyak orang Jawa ataupun Betawi disebut “jaman normal”, sebutan ndoro Dokter atau Tuan Insinyur, adalah sebutan yang terhormat. Benyamin Suaeb menyebut “anaknya” Rano *si Doel anak Betawi* Karno sebagai Tukang Insinyur. Gelar kesarjanaan adalah gelar yang seperti sesuatu yang suci, dan kadang-kadang diperlakukan dan diletakkan seperti yang lebih tinggi dari kepala manusia. Suasana seperti ini pernah atau masih (?) melanda Indonesia, seperti halnya pernah melanda Belanda dan Jerman beberapa dekade yang lalu. Dulu, di Jerman, kalau seseorang mempunyai gelar Doktor dua buah, maka dia akan memakainya begini Dr. Dr. Helmut Muller. Atau gaya Belanda di Indonesia: Prof. Dr. Kyai Haji Sahibul Polan , M.Sc., M.Ph. MBA. Pokoknya kita sampai tidak bisa melihat namanya sendiri karena terbenam oleh gelar kesarjanaannya. Saya risih, dan para sarjana tetap happy dan memang dengan bangga memakainya sehari-hari. Kemungkinannya ada dua. 1. Saya yang tidak tahu menghormati jerih payah orang belajar untuk mendapatkan gelar-gelarnya? Dan 2. Sipengguna gelar merasa memang perlu melindungi dirinya dengan tameng (perisai) dan bungkus dengan menggunakan gelar kesarjanaannya sehingga tidak kelihatan kekurangannya.

Ibu saya mengatakan keindahan yang dilihat dari jarak kejauhan istilahnya Sri Gunung. Dari dekat maka gunung akan kelihatan lembahnya, guanya dan pemandangan jeleknya yang lain. Dari kejauhan? Beautiful, man! Teman Canada yang saya kenal menyebut orang yang tidak dapat memencet kamera sehingga menjadi batal mengambil photo adalah Ph.D. Kepanjangan Ph. D. disini adalah Push Hard, Dummy !! Pencet yang kuat, gebleg!!

Sebagian besar Presiden Amerika Serikat adalah Sarjana Hukum, ada yang pasang gelarnya??

Belum lepas dari ingatan kita banyak Jenderal dan Perwira Menengah TNI kita mengenakan gelar kesarjanaannya dengan boros sekali. Ada Jenderal yang memakai Drs, SH, MBA. secara sekali gus. Ini lebih berat dari tanda pangkat yang dipanggulnya diatas kedua pundaknya, kalau dia berbintang dua berarti ada empat bintang dan kalau berbintang empat maka ada delapan bintang. Apalagi kalau tanda pangkat ini dibuat dari emas murni! Sekarang ini sejak tahun 2002 dia cuma polos menggunakan namanya saja. Kemana lenyapnya gelar-2 tersebut? Sebenarnya kata Jenderal sendiri berasal dari General yang mempunyai arti umum. General Purpose adalah nama kendaraan tentara Amerika pada waktu Perang Dunia Kedua. Kata General Purpose sendiri sehari-harinya disingkat GP (diucapkan cara Amerika dengan Gee Pee atau Indonesia Ji Pi). Lama kelamaan Gee Pee ini disngkat untuk lebih mudahnya dan nyamannya dengan ucapan Jeep. Bukan TNI saja yang menyukai singkatan-singkatan, tetapi juga para anggota tentara Amerika Serikat. Para Sipil Amerika menyebut Vee Pee yang disingkat Veep untuk jabatan Vice President.

Orang jaman dulu juga amat suka menutupi kekurangan dengan gelar kebangsawanan seperti Lord, Count atau Viscount dan Raden Mas Tumenggung serta Hangabehi Ingkang Sinuhun, Pengiran Hulubalang Yang Dipertuan Diraja dan sebagainya. Gelar tersebut dimungkinkan karena didapat sebagai hadiah dari tuannya sang bangsawan, padahal dia itu orang kebanyakan jua.

Ini semua ditulis sekedar untuk menerangkan bahwa sebenarnya semua gelar kebangsawanan dan gelar akademis serta gelar sebagai pemuka agama hanyalah sekedar baju penutup. Semua gelar itu kalau memang dipergunakan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan maksudnya tentu tidak akan menimbulkan ketimpangan atau keanehan. Boleh dan sah saja. Gelar Kyai, Haji juga dapat digunakan ditempat yang pas, tetapi kurang sesuai bila dipakai untuk dipasang dipapan nama.

Di Philipina ada Degree Mill (Pabrik Gelar) dan sekarang di internet ditawarkan gelar kesarjanaan dalam ilmu apa saja, tanpa kuliah dan tanpa ujian. --------Beli saja.---------Mudah dan Cepat.

Ketika saya sedang menuntut ilmu di Jepang (1959 s/d 1964) saya mempunyai kenalan seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat dari ras kaukasian, jadi berkulit putih. Hampir dua tahun saya sering bertemu dia dan sering bercakap-cakap. Suatu saat dia menyebutkan sesuatu mengenai Saudi Arabia dan dia menyebutkan tentang Mekkah yang diketahuinya. Saya tanya; “Have you ever been to Mecca?” Dia jawab dengan yes dan saya tanya lagi “What did you do in Mecca?” dia jawab sedang Haj Pilgrimage, menunaikan ibadah haji. Masyaallah, sekian lama saya bergaul dengannya saya tidak tahu dia Muslim apalagi Haji. Saya tanya lagi mengapa tidak mengenakan gelar haji? Dia menjawab enteng; “What for? Nobody does in the (United) States !”. Sekarang ini setelah saya mengamati agak lebih luas ternyata yang “suka” dengan gelar Haji dan Hajjah itu ada di Indonesia, Malaysia dan mungkin Brunei. Indonesia yang katanya penduduknya 88 % adalah Muslim, mungkin boleh-boleh saja menentukan pilihannya seperti itu. Akan tetapi pakailah dengan tepat. Jagalah nama sehingga Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar didunia tidak menjadi tercela dengan gelar-gelar lain yang belakangan ini santer: terkorup didunia, Jakarta Kota Terkorup atau sebagian besar Ketua DPRD dan anggotanya terlibat Korupsi besar-besaran.

Saya setuju dengan pendapat bahwa gelar sarjana sebaiknya dicantumkan dengan benar apabila dipakai sebagai penulis makalah atau buku, yang subjectnya memang sesuai dengan ilmu kesarjanaannya. Ini adalah bentuk tanggung jawab ilmiah tentang tulisannya yang sedang menjadi topic. Saya juga setuju apabila dia dokter hewan dan kebetulan dia menulis soal keamanan dilingkungan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), sebaiknya gelarnya tidak dicantumkan. Kalau ngotot ingin mencantumkan, saya juga tidak akan ngotot memaksakan pendapat saya diikuti. Itu haknya dokter hewan dan tidak ada aturan yang melarangnya. Untuk direnungkan saja bahwa hal itu kurang pas.

Banyak Kepala Daerah baru datang ke Jakarta, beli gelar dan beli mobil baru.

Palin-paling pulang ke daerahnya lalu meèjèng. Happy??

Istri saya yang kebetulan duduk disebelah seorang wanita yang dulu adalah istri seorang Presiden R.I., sama-sama menghadiri sebuah upacara perkawinan.

Melalui pengeras suara diumumkan segala macam upacara yang berlangsung secara adat Jawa dengan suara lemah lembut, yang begini dan yang begitu. Penyebutan nama pengantin secara lengkap disebut gelar kesarjanaannya dan demikian juga seluruh gelar sang ayah, kakak dan adik, adik ipar dan dengan teliti berulang-ulang. Ibu yang nyonya bekas Presiden RI itu berbisik kepada istri saya: “Jeng, semestinya semua gelar itu kan tidak perlu disebut didalam upacara penganten, ya?!” Istri saya mengangguk sopan saja mengiakan. Mengapa ibu tersebut berbisik dan istri saya hanya mengangguk sopan?

Percakapan seperti ini masih harus dilakukan dengan cara “low profile”, takut menyinggung perasaan orang lain. Ini termasuk saya sendiri yang menuliskan hal-hal diatas, akan tetapi tidak menyebut nama dan kapan peristiwa tersebut terjadi. Demikian pula dengan nama Jenderal yang penuh gelar, saya tutupi dan mungkin saya akan tetap bungkam. Apa saya pengecut? Mungkin juga! Lha wong cari slamet, kok. “Hukuman “ sosial di Indonesia terasa lebih sakit dan pedih dibandingkan dengan hukuman yang sesuai Undang Undang Negara yang berlaku.

Saya pernah berada di Bangkok, tepatnya di Hotel Trocadero pada tahun 1963, bertemu dengan seorang anggota TNI yang berpakaian seragam TNI lengkap. Didadanya ada papan nama dengan tulisan jelas tertera: Major Arifin. Terkesiap juga saya melihatnya karena sudah beberapa tahun tidak melihat pakaian militer didalam kota di Jepang. Untuk menghibur diri, saya berkata didalam hati, mungkin namanya memang Major dan nama keluarganya Arifin, meskipun kelihatan tanda pangkatnya memang Mayor.

Tahun 1993 saya naik kereta api dari Kuala Lumpur menuju Singapura. Suasana kereta apinya bersih dan teratur. Didalam gerbong, saya lihat empat orang berbaju batik tangan panjang. Setelah berkenalan, ternyata mereka semua anggota TNI AD yang sedang tugas latihan bersama Tentara Diraja Malaysia.

Dia berpangkat Kapten, bercerita bahwa seorang yang bepangkat Kapten di Tentara Diraja Malaysia kalau pulang kerumah selalu berpakaian sipil dan naik mobil pribadi. Mobil pribadinya dapat dibelinya sendiri. Gaji Kaptennya dapat membuat dia mampu memiliki mobil pribadi. Malahan kalau dia tidak memiliki mobil mungkin sekali atasannya akan menyelidiki apakah dia mempunyai bini lebih dari satu atau dia menjadi penjudi. Katanya lebih lanjut: “Lha, kalau saya mempunyai mobil pribadi, atasan saya akan mencurigai saya, dapat dari mana saya uang untuk membeli mobil?” Dia tertawa tergelak-gelak sendiri dan saya menyertainya tertawa juga. Itu yang terjadi, fakta kadang-kadang pahit dirasakan, meskipun disertai tawa.

Dapat dirasakan bahwa kadang-kadang gelar kesarjanaan, pangkat di TNI maupun gelar sosial seperti raden, semuanya mempunyai beban tersendiri. Kalau bebannya terlalu berat, lepaskan saja gelar-gelar itu. Toh kita lahir berupa bayi telanjang. Yang tidak bergelarpun selamat sejahtera sampai tua bangka sekalipun. Nanti mati juga telanjang lagi.

Gelar, pangkat, dan ke-raden-an ditaruh mana, ya?

Henry Kissinger menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, berhenti dan mengajar di sebuah universitas dan kita baru tahu dia memang Professor. Dia berhenti mengajar dan diminta menjabat suatu jabatan Negara lagi, gelar profesornya ditanggalkan.

Created by Anwari Arnowo

---ooo000ooo---

Learn to be silent,

let your quiet mind

listen and absorb

Anwari Doel Arnowo

Dimulai dengan sms.

Saya (07:44): This is For Your Eyes Only, takut diproses seperti Prita Mulyasari.

DILANTIK: ke satu Jenderal yang Doktor dalam Ilmu Pertanian (?), Haji, Koalisi (sa)tor -?- dan ke dua: Professor Doktor, M.ec (opo iku?). DO WE NEED THAT??

AMB (07:48): Wehave a lot to reform n reeducate. Gelar iku opo sih?Obama, Bush, Gore, Merkel, Sakorskyndak pernah merasa perlu nempel-nempelin yang begitu. Wis ngurut dodo ae. EGP?

Ah, ternyata AMB tidak bisa EGP. Ternyata pukul 12:51 saya dikirimi email yang berisi tulisan seperti seperti berikut ini:

TEMPEL-TEMPEL

Oleh: A. M. Budiman

Bandung, 20 Oktober 2009

Hari ini, 20 Oktober 2009, Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden terpilih Boediono akan dilantik secara resmi sebagai pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kurun waktu 2009-2014.

Hari ini pula berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik riuh memberitakannya secara luas. Di media cetak terpampang iklan-iklan berwarna ukuran besar menyampaikan ucapan selamat.

Yang menarik perhatian saya ialah terpampangnya sederet tempelan gelar di depan maupun di belakang nama kedua negarawan kita. Saya masih mempertanyakan apakah penempelan sederet gelar akademik dan non-akademik tersebut memang sudah mendapat restu dari yang diberi selamat. Ataukah itu hanya upaya ‘menarik hati’ dari para pemasang iklan dan para kalangan inner circle kedua pemimpin bangsa itu. Saya tidak tahu.

Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta tercantum gelarnya hanya pada awalnya saja. Selanjutnya beliau berdua lebih dikenal sebagai Soekarno dan Hatta. Tanpa embel-embel.

Dan bukankah para pemimpin dunia lainnya juga tidak menempelkan apa-apa pada namanya? Coba kita simak nama-nama berikut: Jawarlal Nehru, J.F. Kennedy, Robert McNamara, Chou En Lai, kemudian Bush, Obama, Sarkozy, Merkel dll. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang hebat di dunia akademik yang digelutinya sebelum menduduki jabatan publik.

Bagi sementara orang, hal semacam ini mungkin dianggap terlalu ‘remeh’ untuk dibicarakan. Namun menurut hemat saya justru kita perlu membicarakannya guna kemudian mengupayakan untuk disosialisikan secara luas. Gejala ‘gila’ (maaf) gelar kesarjanaan akademik semacam ini sudah terlanjur mewabah dan merambah ke segala lapisan masyarakat. Orang berlomba memperoleh gelar semacam itu, baik secara halal maupun tidak. Tidak heran, perusahaan yang ‘menjual’ aneka macam gelar tumbuh subur di mana-mana. Perusahaan semacam ini begitu tidak kenal malu menawarkan ‘gelar’ professor, yang sebenarnya hanya nama jabatan saja. Lebih menyedihkan lagi, ada orang yang mau membelinya, tanpa memahami apa yang dibelinya.

Fenomena tidak sehat ini tentunya harus segera diakhiri.

Kalau seseorang menulis suatu karangan ilmiah, wajiblah ia mencantumkan lengkap gelar kesarjanaannya. Begitu pula dalam pemberitaan di kalangan sivitas akademika, ataupun forum-forum yang terkait dengan dunia akademik lainnya.

Namun di luar itu, alangkah janggalnya.

Anak bangsa kita perlu dicerahkan nurani dan diajarkan sejak dini bahwa peningkatan jenjang karier seseorang harus didasarkan pada evaluasi ‘on merit’ dan BUKAN gelar yang disandangnya atau lainnya. Dengan demikian setiap anak bangsa akan berusaha sekuat tenaganya untuk menambah ilmu, memperkuat kompetensi diri dan bekerja lebih keras – tanpa memikirkan menempelkan gelar apapun.

Anwari Doel Arnowo

Haiyaa.. saya kira saya sedang baca sms ..... 2009/10/20 A. M. Budiman

12:58 PM (40 minutes ago)

budim@mail.com

--- On Tue, 10/20/09, A. M. Budim wrote:

Haya salah ngetik: 2009 - 2114. SBY keburu dadi Casper. Hayaaaa Powered by Te...

1:02 PM (36 minutes ago)

Anwari Doel Arnowo

2114 mestinya 2014. Lha aku dikoreksi (Satu Abad) oleh Ta 3009 mestinya 2109.

1:09 PM (29 minutes ago)

A. M. Budiman

Iku dudu seabad rek, tapi sembilan abad rek. Lha aku dikoreksi adike Ta:...

1:25 PM (14 minutes ago)

Reply

A. M. Budiman to P, me

show details 1:27 PM (11 minutes ago)

Iyo, ben dadi SBY the Casper.

---------- Forwarded message ----------

From: P W

Date: 2009/10/20

Subject: Re: Tempel-tempelan

To: "A. M. Budiman"

TK (Taufik Kiemas) melantik SBY untuk 2009-2014. Cuma 5 tahun. Kalo Budim, lebih generous, selain 5 tahun ada tambahan bonus 100 tahun, 2009-2114. ....

Sunday, October 18, 2009

Beranikan diri menatap masa depan


Anwari Doel Arnowo – 18 Oktober, 2009

Satu Abad

Tahun 1901 Sukarno lahir di Surabaya.

Kapal terbang belum tercipta, tetapi sudah ada konsepnya.

Televisi belum ada, walau sudah ada hanya di dalam daya khayal para ilmuwan.

Telepon masih amat-amat langka sekali.

Manusia penduduk Nusantara mengenali seseorang yang beraliran kepercayaan dan agama lain, dengan sikap engkau adalah kamu dan saya adalah beta. Secara sporadis dan jumlah yang tidak banyak, mulai memikirkan adanya suatu bangsa yang mendiami sebuah negara berpemerintahan satu di kepulauan Nusantara.

Penduduk seluruh dunia pada waktu itu hanya dikirakan sejumlah 3 miliar jiwa.

Tahun 2009 belum terlahir atau belum muncul orang yang sekaliber Sukarno.

Kapal terbang sekarang mempunyai lebar sayap (Wing tip to tip) yang panjangnya sama dengan jarak tempuh mengudara dari kapal terbang yang pertama kali ciptaan Wright bersaudara di Amerika Serikat.

Televisi rumah sudah biasa berukuran diagonal layarnya 52 inchi dan yang dipakai untuk reklame demikian besar layarnya, mampu dilihat dari jarak seratus meter..

Telepon ? Demikian canggihnya kalau short message service (sms) datang terlambat dua menit saja si calon penerima bisa saja menumpahkan kemarahan.

Satu abad yang lalu kehidupan lebih sederhana, manusia menerima keadaannya dengan sikap lebih pasrah dan tidak menggebu-gebu. Nenek saya saja masih mendinginkan nasi yang baru matang dimasak. Sekarang banyak sekali orang yang menuntut makan dengan nasi panas, bahkan bisa sekali menjadi marah, merajuk dan membatalkan makan sama sekali, bila tidak ada nasi panas.

Sekarang manusia-manusia yang pernah dicita-citakan untuk mendiami kepulauan Nusantara, sudah lebih 64 tahun lamanya, hidup bersama di dalam sebuah pemerintahan bersama di dalam sebuah Negara bernama : Republik Indonesia. Kebersamaan ini kadang-kadang terganggu karena adanya masalah politik dan jenisnya kepercayaan dan aliran agama yang dianutnya. Sikap negatip : partaimu jelek partaiku bagus, kepercayaan atau agamamu salah sedang kepercayaan atau agamaku paling benar. Persatuan nasional terganggu dan hidup nyaman menurun menjadi tidak nyaman.

Itu semua adalah sedikit dari sekian juta kilas balik yang bisa digambarkan selama satu abad terakhir.

Apabila sekarang ada pertanyaan siapa manusia yang lebih berbahagia hidupnya, yang seratusan tahun yang lalu atau yang sekarang ??

Mari kita jelajahi mesin pencari - search engine, dan berikut inilah yang kita dapatkan.

Yang jelas pernah diberitakan bahwa hanya ada dua negara saja, salah satunya: Bhutan yang penduduknya bisa mampu untuk dikatakan berbahagia, meski diukur secara Gross Domestic Product yang hanya US$ 5,312 Per Capita (data IMF – International Monetary Fund) akan tetapi nilai GDH (Gross Domestic Happiness)nya bisa menggantikan nilai GDPnya.

GDP menurut IMF terhadap Indonesia menempati Peringkat ke 121 – US$3.980 (menurut World Bank di peringkat 106 – US$3,975 dan CIA World Factbook di peringkat 127 –US$3,900).

Yang aneh menurut CIA World Factbook maka negara yang mempunyai peringkat paling tinggi di dunia dalam nilai GDP adalah Lichtenstein, angkanya US$ 118,000. Lichtenstein adalah daerah pegunungan yang terletak di tengah-tengah negara Swiss, dan Austria. Areanya seperti negeri dongeng Liliput yang meliputi daerah seluas 160 kilometer persegi saja dan penduduknya hanya 35.000 jiwa. Ibu kotanya adalah Valduz dan kota yang terbesar di situ adalah Schaan. Penduduknya berbahasa Jerman meskipun tidak berbatasan dengan Jerman. Mungkin sebuah Kelurahan di dalam Kota Jakarta, mempunyai penduduk yang lebih besar cacah jiwanya. Karena Lichtenstein terkenal sebagai sebuah negara yang dijuluki Tax Heaven (Surga -Tanpa-Pajak), maka jumlah perusahaan yang ada di negara tersebut mencapai jumlah sekian kali dari jumlah penduduknya. Tentunya perusahaan seperti itu adalah yang mungkin sekarang banyak beralamat di sebuah tempat yang lazim di sebut sebagai Company Headquarters, yang ada di Singapura, di Hong Kong dan kota-kota besar di manapun, termasuk Jakarta Raya.

Catatan: Berikut setelah Lichtenstein sebagai negara ber GDP terbesar adalah Qatar, yang US$110,700 dan Luxembourg yang US$81,000.

Pertanyaannya mengapa Bhutan dianggap sebagai negara yang mempunyai penduduk yang berbahagia, sedangkan GDPnya hanya satu per duapuluh lebih atau sekitar 5% saja dari GDPnya Lichtenstein ??

Ukurannya apa ?? Silakan klik dan baca di http://www.cbc.ca/money/story/2009/09/18/f-don-pittis- berikut tanggapan-tanggapannya:

Don Pittis

Beyond GDP: The pursuit of economic happiness

President Sarkozy and the King of Bhutan seek domestic joy through pursuit of GDH.

Last Updated: Friday, September 18, 2009 | 3:13 PM ET Comments9Recommend24

By Don Pittis, CBC News CBC News



Don PittisDon Pittis

French President Nicolas Sarkozy has announced he doesn't like gross domestic product. And he is not alone. The King of Bhutan and many other people feel the same way.

GDP, as the economic yardstick is known to its closer friends, is supposed to measure how well countries are doing and how much things are improving.

To do that, it measures one main thing: money.

Now there is nothing wrong with money. Even Sarkozy likes it. But the big question raised by le Président de la République and his expert panel of economists was, "Is money enough?"

GDP isn't everything

GDP is a strange beast.

If you chop down a forest, GDP goes up. If you get in a car crash and everyone is taken away by ambulances and tow trucks, GDP goes up.

If you have a massive heart attack, a triple bypass and you expire on the operating table, you have just created a GDP windfall. You've generated money not just for the people tallying up your medical bills, but for lawyers and undertakers too.

But if you take out your neighbours' trash while they are away, or help an old lady down the stairs of a bus with her parcels, or sit down for a leisurely home-cooked meal with friends and family, GDP is unaffected. Well, of course it isn't. Who would be so crass as to put a dollar value on such things?

According to the economic theory behind GDP, money is supposed to measure well-being. And in a way it does. If bottles of wine or an iPod didn't make you happy, you wouldn't spend money on them. If as a population we buy more cars and food and computers and beer, we are getting more and more satisfied.

Measuring well-being

But there is a growing body of evidence that some of the things GDP fails to capture have a huge and measurable impact on well-being.

Political scientist Robert Putnam, in his book Bowling Alone, suggests a direct relationship between the number of neighbours you know by first name and how long you live. His book has many other good examples of the value of human companionship.

There's another great case study in the book Getting to Maybe, written by a group of authors that includes Prof. Brenda Zimmerman of the Schulich School of Business at York University. They spotlight a Vancouver program called PLAN to help disabled children whose aging parents eventually won't be around to look after them.

Although money was important to the children's future, they discovered that relationships were perhaps more important. "Relationships did not lead to quality of life," they found, "they were quality of life."

To help the disabled offspring, the group put an enormous amount of effort into building up existing — and creating new — social connections. And they found it worked.

Feminist economists have done a lot of work on this kind of thinking, usually rejected out of hand by "mainstream" economics. Unpaid and uncounted labour in the home is an obvious objection to the conventional view. But more complex and interesting are concepts like intergenerational reproduction, where crucial values that make societies truly rich are transmitted (or not transmitted) outside the marketplace.

GDP versus GDH

Perhaps the greatest master of measuring non-GDP well-being is the King of Bhutan. Several years ago, that South Asian country dropped the idea of GDP. Instead, its people adopted a measure called GDH, or gross domestic happiness.

Rather than chopping down trees, they plant them. People take it slow, spending a lot of time with their families and livestock, and having a lot of festivals. It might not work here, but the Bhutanese could have a few ideas for Sarkozy.

In the meantime, it sounds like France's new anti-GDP report, with the windy title The Measurement of Economic Performance and Social Progress Revisited, would be worth a detailed read. I plan to do it justice some day.

But right now, I'm going to go putter in the garden.

Don Pittis has reported on business for Radio Hong Kong, the BBC and the CBC.

  • This story is now closed to commenting.

Note: The CBC does not necessarily endorse any of the views posted. Please note that comments are published according to our submission guidelines.

LICENSE | EMAIL | PRINT | Text Size: S M L XL | REPORT TYPO | SEND YOUR FEEDBACK |Bookmark and Share

Story comments (9)

Sort: Most recent | First to last | Agreed

Ken Kernaghanwrote:Posted 2009/09/23
at 12:39 AM ETThe article mentions that things other than money lead to well-being, but consideration should not be limited to the well-being of humans. This could easily be used to justify the pursuit of short-term self-interest without consideration for environmental impacts that don’t have to be fully paid for by the party benefiting from the impact.

Pursuing continued GDP growth really only suits Economic interests.

Along with Economic interests, there are Social interests (mentioned in the article) and Environmental interests (missing from the article even though well-being is closely related to the environment).

There is some synergy among the interests, but many Social interests are contrary to Economic interests, and Environmental interests are contrary to all Economic interests and many Social interests.

The Environment does not “benefit” from Economic activity. As many have commented on Climate Change, humans can’t control the environment. However, human activities do have significant impacts on the environment. We can’t meaningfully control the environment. All we can do is reduce the impacts our activities have on the environment to “sustainable” levels.

Sustainable levels of impact are at odds with perpetually increasing GDP and our current economic activity is not even sustainable. Sustainable means future generations can continue living the same way and the less fortunate can develop to live that way.

Success should be measured in a manner that ensures that environmental and social impacts are not over-ridden by Economic interests, with environmental impacts limited to sustainable levels.

The free-market can only help us get there if environmental impacts have to be paid for up-front and social requirements are adhered to in all nations.

brainburp wrote:Posted 2009/09/22 at 1:02 PM ET

Dear Don Pittis,

this should not be the time to drop this- rather the time to pursue it.We have seen the decimation of life-economic demographic strata and of cultural,historical significance and now finally -the environment. In every conceivable way if we do not address this techno cultural issue of being content and how to consider ourselves improving then the next step will be to reduce those "components of value" which conflict or detract from the overall benefit equation.At some point that means ---US.
I think most bloggers as reflected in views on global warming, development and technology recognise that this usually leads to real or created resource centred conflicts and control.
Im reminded of the Europeans in South Americas gold rush,our own oil entric growth, and the incredible rise of disproportionate allocation of value to the "equity"markets" relative to the "real" value of goods and services.Yes we need markets but at the end of the day if the puff of smoke disappears for one guy but enables the next to own vast tracts of productive land/industry perhaps we should limit the amount of real value attached to vapour and drink more water.Real vs confidence value.Yes we need global trade instruments , GDP and economic measuring sticks but no more than you need the dipstick in your car-its there to indicate the health of the motor not as the only component of importance.We are trying to use the dipstick to tell us how hot the motor is or how comfortable the ride is inside at - 40C .GDP cannot be blamed for its misuse and inappropriateness in our reckless hands.

pj meagher wrote: Posted 2009/09/22 at 5:43 AM ET

Brilliant article.
Thx me son.
Pitts for prime minster.

timzc1 wrote:Posted 2009/09/21 at 8:31 PM ETA

straw man is being attacked here.
I'm not sure anyone ever suggested that GDP equated to happiness. It measures economic activity. There is nothing inherently bad about that. It will always be valuable to to measure that which can be measured.

Economic activity correlates to health, education and other obvious goods. An increase in GDP may not be the only thing, but it isn't a bad thing!

----
First I like your clarifications and distinctions. Thank you for gettign me to think about them.

Second, a thought I had: from the long term environmental perspective, a raise in GDP might be a "bad thing". Given that the environment is currently considered "external" to the economic system in cases where there are no "markets" (treating the air as a free garbage dump, etc.,), a raise in the GDP always (almost always?) comes with added environmental destruction.

--Timzc1

What do you think?

PolicyReport abuse

sklars wrote:Posted 2009/09/21
at 3:25 PM ETYah, right, just ask Bentham, Ricardo and the rest of the nineteenth century dismal scientists about utility, ophelimity, and human happiness.

Unfortunately, they still haven't come up with a foolproof way to add up your happiness and mine. Whereas to do the same for our dollars is, if not trivial, at least possible.

The "GDH" is new-age nonsense trying to supplant the nonsense of the bygone age of rationalism.

No, I have no solution, except to abandon economics altogether: to proscribe it, ban it like the subversive religious thought it truly is.

This story is now closed to commenting.

Note: The CBC does not necessarily endorse any of the views posted. Please note that comments are published according to our submission guidelines.

Apa yang dikemukakan di atas tadi akan bisa menimbulkan parameter-parameter yang simpang siur, yang siap didebatkan yang satu dengan yang lainnya.

Kita tentu saja tidak tertarik dengan perdebatan yang mungkin saja tidak akan ada akhirnya. Yang jelas bisa kita tangkap adalah: angka yang menggambarkan kekayaan materi adalah angka yang semu, bila tidak mendapatkan nilai dan peringkat yang membuat kita berbahagia. Seperti ungkapan : Uang dapat digunakan untuk membeli obat tetapi besar kemungkinannya tidak dapat dipakai untuk mendapatkan peringkat kesehatan yang baik dan berbagai contoh lain mengenai uang.

Alangkah banyaknya yang telah terjadi selama satu abad saja yang lalu sampai tahun ini.

Beranikah kita membandingkan dan mengantisipasi apa yang akan terjadi satu abad ke depan, tahun 2109?

Satu abad yang lalu sampai saat ini telah terjadi peningkatan kualitas hidup manusia dalam segi makanan, kesehatan, sikap hidup bersama dan peningkatan kualitas tempat tinggal masyarakat manusia maupun makhluk hidup lain termasuk tanam-tanaman. Pada awal abad yang lalu jumlah penduduk dikirakan ada sebanyak 3 miliar jiwa dan pada awal abad ini cacah jiwa menunjukkan angka enam miliar jiwa. Itu adalah rangkap dua dari angka abad terdahulu.

Apakah seratus tahun yang akan datang, jumlah jiwa manusia akan menjadi 12 miliar? Angka yang saya baca telah diramal-perhitungkan adalah 14 miliar jiwa. Meskipun hal ini tidak akan saya alami, karena saya tidak akan ada di dunia pada saat itu, saya ikut prihatin dan merasa sedikit ngeri. Bangsa Indonesia akan berjumlah lebih dari 900 juta jiwa, kah? Atau satu miliar jiwa??

Bukankah muka Planet Bumi akan tetap luasnya? Permukaan daratan adalah tempat yang ideal saat ini dihuni oleh manusia. Tetapi apakah benar akan demikian kejadiannya?

Dengan bertambahnya pengetauan, baik luasnya maupun kedalamannya, maka mungkin sekali manusia akan menempati pemukiman-pemukiman yang tidak terpikirkan pada saat ini. Sudah ada konsep sejak pluhan tahun yang lalu.

Jepang sudah membuat konsep sebuah sentra hunian di dalam tanah yang bisa menampung sekitar dua ratus ribu manusia dan tetap mendapatkan situasi hidup seperti yang sekarang di alaminya. Sinar matahari sampai ke dasar sentra hunian ini, meskipun itu di kedalaman sekian ratus meter dari muka tanah. Pada awalnya saya amat tidak bisa mempercayai itu akan mudah dilaksanakan. Bukankah Jepang adalah negara yang punya jumlah angka gempa buminya sekitar 400 kali setahun. Sekitar satu lebih pada setiap harinya sepanjang tahun yang berjalan?

Ada juga yang membuat konsep membuat sebuah module terapung, bisa mengapungkan module itu ke mana-manapun di laut. Berapa manusia yang bisa hidup di dalam module itu yang dibuat bebas dari gangguan cuaca, hujan, topan dan gempa ini? Direncanakan paling sedikit adalah 50.000 jiwa manusia dapat ditampung aktifitas hidupnya. Module ini bisa berbentuk bulat seperti bola dan dan tembus cahaya sinar matahari yang bisa dikontrol intensitasnya. Tenaga suryapun akan mendominasi tata cara pergerakan semua fasilitas yang ada di dalam module. Karena bagian bawah module ini berada di bawah muka air laut, maka beberapa tempat di bagian ini dibuat agar bisa menikmati pemandangan di bawah air. Module dengan kapasitas penampugan sebanyak 50.000 jiwa ini akan bisa menampung sebanyak satu miliar manusia apabila di bangun sebanyak 20.000 buah menempati tempat-tempat yang memungkinkan. Tempat-tempat yang ideal adalah yang berupa perairan tertutup seperti lautan terlindung seperti yang dimiliki wilayah kita, Republik Indonesia.

Kesehatan? Saya sudah melihat video sebuah alat yang masih prototype, belum komersial, ialah sebuah robot sebagai pengambil fungsi badan manusia.

Anda tentu mencermati permaian anak-anak dan komik yang menampilkan sebuah bentuk robot seperti yang biasa dikenal dengan istilah the Transformer. Bagian tubuh manusia yang kurang berfungsi, akan tetapi bisa diambil alih dengan sebuah robot yang di design khusus untuk mengambil alih fungsinya. Ada sebuah robot yang bisa dimasuki seluruh tubuh manusia dan akan bisa berjalan, dan malah memungkinkan dia mengangkat beban seberat 200 kilogram. Gerak robot semua dikendalikan oleh manusia cacat yang berada di dalam robot. Jadi kemungkinan nanti orang yang lumpuh kaki akan bisa berjalan dengan bantuan robot semacam itu, bukanlah sesuatu yang mustahil.

Sampai di sini kita bisa tidak terlalu pesimis memandang kehidupan yang akan datang. Alam akan ramah mengajak menjalani kehidupan semua makhluk yang ada di Planet Bumi, sepanjang mereka juga mau menggunakan akal budi yang bisa diterima dalam menciptakan segala-galanya yang lebih baik dari pada yang ada pada saat ini. Semua ada di alam jagad raya, ada di dalam struktur biologi badan manusia dan ada di dalam struktur akal dan pikiran manusia serta semua makhluk yang ada di dunia ini. Oleh karena manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya, maka manusia harus mengambil peran sebagai pemuka untuk bisa memimpin dalam menjaga kelestarian alam hidupnya.

Mari kita tetap hidup dengan berani, membangun kehidupan yang lebih memenuhi syarat-syarat yang selalu didambakan.

Membangun yang baik, tanpa merusak.

Anwari Doel Arnowo – 18 Oktober 2009 == 15:35



Ternyata yang saya sebut sebagai Transformer di atas ini mencuat beritanya di koran Seputar Indonesia tanggal 30 Oktober, 2009, kemarin.

Realisasikan Energi Superhero ke Dunia Nyata
Friday, 30 October 2009

Dalam fiksi, kebanyakan superhero menggunakan ”baju sakti”yang mampu menghasilkan energi berlipat-lipat dibandingkan tenaga manusia.Kini,peranti itu telah hadir secara nyata dalam kehidupan manusia.

SEMUA itu berkat pemikiran jenius dan kerja keras Yoshiyuki Sankai, pakar robot ternama dari Jepang. Sankai menciptakan HAL (hybrid assistive limb), yaitu pakaian robotik yang telah dikembangkan untuk membantu gerakan dan menambah tenaga orang yang memakainya. HAL juga bisa digunakan bagi mereka yang mengalami kesulitan berjalan. Sankai meneliti dan merancang desain HAL sejak 1992.

Kini hasil karyanya telah dipasarkan ke publik. HAL sendiri merupakan gabungan dari teknologi mekanika,elektronika,bionik,dan robotik atau secara bersama-sama disebut sebagai cybernic. Pertanyaannya, apakah mungkin manusia bisa menjadi superman? ”Di masa depan, manusia bisa saja bermutasi menjadi superman,” kata profesor dari Universitas Tsukuba ini kepada Daily Mail.

Pakaian robot ini menggunakan tenaga baterai berbobot 15 kg. Kemampuan pakaian robot itu adalah mendeteksi gerakangerakan otot melalui aliran sinyal elektrik di permukaan kulit.Pakaian robot tersebut kemudian memperkuat sinyal-sinyal elektrik itu. Tak hanya itu, pakaian robot juga bisa bergerak sendiri atau secara otomatis. Semuanya berkat sensor yang menempel di kulit.

HAL menangkap sinyal bioelektrik yang dikirim otak ketika menginstruksikan sel otot untuk bergerak. Sinyal tersebut diterjemahkan oleh sebuah chip komputer yang kemudian menentukan berapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk menggerakkan pakaian. HAL diproduksi oleh perusahaan asal Jepang,Cyberdyne.

Sankai Yoshiyuki,pendiri perusahaan tersebut, terobsesi dengan novel 1950- an karangan Isaac Asimov, I Robot. Selain itu,pria kelahiran Okayama ini juga terinspirasi komik Cyborg 009ketika dia kecil. ”Saya selalu percaya bahwa robot dan cyborg dapat menjadi layaknya manusia,” ungkap Sankai. ”Buktinya, HAL mampu bergerak dengan mulus. Saya serasa melambung di atas kain yang digunakan untuk bermain akrobat,” imbuhnya seperti dikutip Asahi.

Kemudian, ketika belajar ilmu pengetahuan di sekolah dasar, dia melakukan eksperimen dengan kodok yang dialiri arus listrik di pergelangan kaki. Beranjak remaja, dia mulai tertarik atas potensi hubungan antara manusia dan mesin.Ketika itu,dia mulai berpikir bagaimana caranya menggunakan mesin untuk membantu manusia?

Dia pun bercita-cita menciptakan pakaian robot dengan kemampuan cyborgtersebut. Sebagaimana dikutip situs Massachusetts Institute of Technology (MIT), ketika kuliah di Universitas Tsukuba Sankai juga terinspirasi saat banyak temannya menderita kelumpuhan.Sejak saat itu, dia fokus dengan mendalami pemanfaatan teknologi dalam dunia kesehatan.

Hingga prototipe pertamanya dibuat Sankai pada 1997. Sankai membangun sebuah jembatan antara dunia fiksi ilmiah dengan realitas lewat penemuan HAL.Awalnya, prototipe HAL 3 merupakan exoskeleton (kerangka luar) metal berpenggerak motor. Exoskeleton ini bisa dipasang pada kaki untuk memberi tenaga pada gerakan pengguna. Sebuah tas punggung berisi komputer dengan koneksi jaringan nirkabel serta baterainya diletakkan di bagian ikat pinggang.

Pakaian yang mirip kerangka luar ini membuat pemakainya berjalan lebih mudah. Pakaian ini diciptakan untuk idealisme Sankai. HAL dapat digunakan oleh orang yang menderita lumpuh karena stroke atau kerusakan syaraf tulang belakang. Selain itu,pakaian ini juga ideal untuk pekerjaan berat,misalnya membantu menanggulangi bencana. Dalam pemakaian normal, baterai HAL mampu bertahan selama lima jam.

HAL sudah memasuki produksi massal dan akan dijual dengan harga sekitar Rp45 juta. Bahkan beberapa hari setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS),Sankai menerima undangan resmi dari Departemen Pertahanan untuk mempresentasikan ”pakaian robot” yang dibuatnya.Beberapa bulan kemudian, Sankai pun menghadiri rapat di Pentagon.

Sankai sempat ikut ambil bagian dalam proyek yang digunakan kepentingan militer dalam menangkal dan perang melawan terorisme. Namun,di kemudian hari,dia menolak bekerja sama dengan perusahaan robot yang khusus menyediakan alat pertahanan. Dia berkilah hati nuraninya tidak sepakat bahwa robot harus diterjunkan untuk berperang. ”Saya hanya sepakat bahwa robot untuk jalan damai, bukan untuk menyakiti manusia,”ujarnya. (andika hendra m)